"Ma, Nanda benar nggak apa-apa. Lagian Nanda datang ke sini buat jagain Papa, bukan buat liburan," tolak Nanda. Namun sekali lagi, Anisa tidak ingin dibantah.
"Papa kamu cuma kelelahan, Sayang. Mama aja udah cukup buat jagain. Iya, kan, Pa?" Anisa menoleh pada Rafka yang duduk di atas kursi rodanya. Pria paruh baya itu mengangguk pelan. Kondisinya memang tidak terlalu parah. Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat yang cukup.
"Tapi--"
"Papa nggak apa-apa, Nanda. Seperti yang Mamamu bilang, kalau kamu juga butuh liburan. Mumpung ada Mandala, kan, kamu bisa pergi sama dia. Kalian jalan-jalan aja sambil beli oleh-oleh nanti." Rafka ternyata setuju dengan ide sang istri untuk memberikan waktu pada Nanda agar memiliki waktu untuk berlibur. Menurut Rafka, putrinya juga perlu angin segar. Mungkin dengan begitu suasana hati Nanda dapat membaik.
Berada di tengah-tengah perdebatan kecil Nanda dan kedua orang tuanya, Mandala merasa tenang. Diam-diam lirikan Mandala tidak lepas dari wajah Nanda yang tampak kesal dengan saran dari mamanya. Tanpa sadar Mandala tersenyum, dia juga mengucap syukur karena Nanda akhirnya bisa menampilkan ekspresi lain selain wajah sedih.
Semalam, Mandala tidak bisa berbohong jika hatinya tersiksa melihat Nanda yang seperti kehilangan semangat hidupnya. Pekat dan gelap, itulah yang dirasakan Mandala saat melihat Nanda semalam. Pria mana yang bisa merasakan baik-baik saja saat melihat wanita yang dicintainya menangis tersedu-sedu. Walau hatinya perih, Mandala dapat menyembunyikan semua itu dengan baik di balik topengnya.
"Aku setuju sama Tante Anisa sama Om Rafka. Kamu perlu refreshing, Nan. Mungkin dengan jalan-jalan mood kamu akan membaik," tambah Mandala.
Nanda langsung memutar bola matanya mendengar Mandala ikut-ikutan setuju dengan mama dan papanya. Kalau sudah tiga lawan satu begini, Nanda pasti kalah.
"Nah, Mandala aja setuju. Sana, kamu siap-siap buat pergi," ujar Anisa. Senyumnya mengembang melihat Nanda akhirnya mengalah.
"Oke. Mama menang," kata Nanda. Dengan wajah cemberut Nanda menyeret kakinya menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap-siap pergi bersama Mandala.
Lain hal dengan Nanda yang terlihat tidak senang, Mandala justru sebaliknya. Mungkin dengan pergi berdua bersama Nanda, keduanya dapat berbicara dari hati ke hati tentang apa yang membuat Nanda bersusah hati. Tidak ada salahnya Mandala memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta Nanda kembali terbuka padanya seperti dulu. Setidaknya biarkan Mandala melakukan tugasnya sebagai seorang sahabat. Ya, setidaknya hanya status sahabat yang bisa membuat Mandala memeluk Nanda tanpa ada dinding pembatas. Mungkin.
"Mandala, Om sama Tante titip Nanda ke kamu, ya," ujar Rafka sambil menatap Mandala yang duduk di depannya. Laki-laki dewasa dengan setelan kemeja flannel berwarna biru dongker, jeans hitam yang sedikit sobek di lututnya, dan sneakers putih menambah kadar ketampanannya. Tipikal anak muda yang modis, itulah Mandala.
"Om jangan khawatir. Mandala akan menjaga Nanda dengan baik. Nanda udah Mandala anggap seperti adik sendiri, Mandala nggak bakalan biarin dia sedih atau terluka," tegas Mandala. Dari sorot matanya, Rafka dan Anisa dapat melihat kejujuran dan ketulusan yang tidak terbantahkan.
Jujur, di balik ucapan Mandala yang tulus itu justru membawa rasa perih di dada Rafka. Bukan dia tidak bahagia, dia bahagia. Tetapi kalau bisa, kalau masih sempat, Rafka ingin Mandala tidak menganggap Nanda sebagai adiknya. Rafka berharap Mandala bisa melihat putri semata wayangnya sebagai seorang wanita. Sayangnya, hal itu tidak tersampaikan. Karena saat ini Mandala sudah memiliki wanita pilihan hatinya. Wanita yang akan memuat Mandala tidak lagi peduli pada Nanda. Wanita yang akan menjadi prioritas Mandala.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
ChickLitDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...