Eccedentesiast ||Memilih menyembunyikan kesedihan dibalik senyumannya||

74 12 4
                                    

Mood Nanda benar-benar anjlok, bibirnya bungkam selama perjalanan pulang. Bahkan ketika Mandala mengajaknya untuk makan siang bersama, dia menolak. Alasannya ada rapat. Suasana sedang tidak baik, dan Nanda tidak ingin mendengar apa pun dari Mandala. Dia takut pria itu hanya akan mengeluarkan pujian-pujian tentang kekasihnya saja. Jujur, Nanda benci mendengarnya. Hatinya seperti ditusuk ekor pari, tidak terkira sakitnya.

"Kamu serius nggak mau makan dulu?" Mandala melirik Nanda yang terdiam dengan wajah menatap ke luar jendela. Seperti kemacetan lebih menarik daripada sosok di sebelahnya.

"Nan, kamu kenapa? Dari tadi kamu diam aja. Aku buat salah, ya?"

Iya. Kamu bukan cuman buat salah, tapi kamu juga nyakitin aku.

"Nggak. Aku cuman kepikiran Hera. Dia hebat, ya, bisa ngurus semuanya sendiri. Benar-benar wanita mandiri."

"Kamu juga hebat, mandiri," sela Mandala, "aku ajak kamu ketemu Hera bukan buat ngebandingin siapa yang paling hebat, siapa yang paling mandiri. Aku ingin kamu punya teman selain aku. Aku ingin kamu punya tempat cerita selain aku, Nan. Aku peduli dan aku nggak mau liat kamu kesepian. Aku juga sekarang udah nggak bisa selalu ada buat kamu."

Tidak tahu apa yang membuat Mandala berasumsi bahwa perkataan Nanda barusan adalah sebuah indikasi bahwa Mandala sedang membuat perbandingan antara dia dan Hera. Lebih dari itu, Mandala ingin Nanda memiliki orang lain yang bisa diajak untuk bercerita. Karena saat ini Mandala sudah memiliki kesibukannya sendiri. Dia punya tanggung jawab yang besar, dan sudah pasti waktunya untuk Nanda akan terbatas. 

Nanda bungkam. Tangannya sibuk mencengkram tasnya yang berada di pangkuan. Dia tidak bisa menolak bahwa apa yang dikatakan Mandala berhasil menghilangkan sesak di dadanya karena gumpulan cemburu yang mulai merambat naik. Namun, Nanda tidak ingin wanita yang menjadi temannya adalah wanita yang juga akan membawa Mandala pergi darinya. Dia lebih baik tidak memiliki teman sama sekali. Hanya saja, Nanda tidak ingin membuat Mandala kecewa. Lebih dari itu, dia tidak ingin Mandala ... pergi.

"Maafin aku, Mandala. Aku kekanak-kanakan," ucap Nanda lirih tanpa menatap Mandala. Tapi kenapa harus Hera yang kamu pilih jadi teman aku? Kamu mau buat aku mati secara perlahan-lahan?

"Aku maafin, tapi dengan syarat minta maafnya liat ke aku," kata Mandala, diam-diam bibirnya berkedut menahan senyum melihat tingkah Nanda. Wanita di sebelahnya ini selalu minta maaf tanpa ingin melihat wajah Mandala. Setiap dia berbuat salah, Nanda selalu seperti itu. Dan Mandala tahu Nanda benar-benar menyesal atas ucapannya barusan.

Nanda berulang kali menarik napasnya dengan gugup, kenapa Mandala selalu tahu kelemahannya? Sudah cukup lama Nanda tidak lagi diperlakukan seperti ini oleh Mandala. Akibatnya, dia merasa grogi. Jantungnya sudah berdisko ria.

Bagaimana bisa Nanda menatap bola mata yang selalu tahu cara membuatnya tenggelam dalam pesona Mandala? Bagaimana kalau tiba-tiba Nanda khilaf dan mengatakan kejujurannya bahwa dia mencintai Mandala? Bagaimana kalau Mandala bisa membaca isi hatinya lewat tatapan mata nanti? Apa yang akan terjadi? Segala macam pertanyaan horor itu bergentayangan di otak Nanda. Demi Tuhan, dia benar-benar tidak ingin semua hal itu terjadi. Dia tidak ingin menjadi duri di dalam daging. Dia tidak ingin menjadi perebut pacar orang.

"Satu, dua ...," Mandala mulai berhitung karena merasa Nanda tidak kunjung melakukan apa yang dimintanya. "Sampai lima, loh. Lebih dari itu aku benar-benar marah, nih."

Nanda makin deg-degan. Bukan kesal tapi lebih ke gemas dengan tingkah Mandala yang terkesan sangat childish saat meminta Nanda untuk mengucapkan permintaan maafnya. Tidak ingin Mandala terus menerus menarik lebih jauh dirinya dalam gelora asmara yang semakin jauh, Nanda mengalah. Dengan segala doa yang dimintanya di dalam hati, Nanda memberanikan diri menatap Mandala.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang