Nirmala || Tanpa cacat cela, bersih, suci||

75 11 0
                                    

Rencana Mandala untuk membawa keluarganya menjenguk calon ibu mertuanya gagal. Semua berawal dari kabar tidak mengenakan yang datang dari ART Nanda, kabar tentang papanya Nanda yang sakit. Dan sialnya, berita itu diterima langsung oleh kedua orang tua Mandala.

Mendengar berita buruk itu, kedua orang tua Mandala menyarankan atau lebih tepatnya memaksa Mandala agar ikut bersama Nanda untuk menjenguk papanya yang sedang sakit. Mendapat saran demikian, Mandala spontan setuju. Karena saat ini pikiran dan hatinya tidak karuan memikirkan bagaimana perasaan sang sahabat.

Setelah memutuskan untuk ikut pergi bersama Nanda, Mandala menyempatkan menemui Hera untuk meminta izin pergi bersama Nanda.

Ruangan private room yang saat ini ditempati Mandala dan Hera hanya terisi dengan suara dentingan sendok makan. Diam-diam Mandala melirik Hera yang tampak tenang menikmati makanannya. Berbeda dengan dirinya yang justru bingung harus mulai dari mana.

"Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?" Hera menatap Mandala, merasa risih sekaligus malu karena ditatap Mandala.

Meletakkan sendok ke atas piringnya, Mandala meraih tangan Hera. Menggenggamnya erat tanpa melepaskan pandangannya dari Hera.

"Her, sebenarnya tujuan aku ajak kamu makan siang karena ada yang mau aku bicarakan sama kamu," ujar Mandala.

Mendadak perasaan Hera gelisah, tetapi dia mencoba tetap tersenyum dan menyembunyikan kegelisahannya. "Ngomong aja. Aku ada di sini buat dengerin semuanya," balas Hera.

Jujur, Mandala merasa Hera terlalu banyak mengerti dan memahami dirinya.

"Sayang, aku mau minta izin sama kamu buat nemenin Nanda ke Tokyo."

Seketika Mandala merasa tubuh Hera menegang, tangannya yang sempat menggenggam tangan Hera merasakan hal itu. Dengan cepat Mandala menambahkan, "Papanya sakit, Her. Dia di sini nggak punya siapa-siapa. Makanya tadi Ayah sama Bunda minta aku buat ikut nemenin Nanda. Kamu izinin aku pergi, kan?"

Selama beberapa detik, Hera hanya terdiam dan mencerna ucapan Mandala. Dalam diamnya, Hera tampak berpikir keras. Di satu sisi Hera tidak ingin mengizinkan sang kekasih pergi, tapi di sisi lain Hera sadar jika dirinya tidak memiliki hak penuh untuk melarang Mandala.

"Sayang, aku nggak boleh pergi, ya?" Mandala kembali bertanya, memastikan apakah Hera benar-benar tidak ingin dia pergi.

"Mandala, bagaimana bisa aku nggak ngizinin kamu pergi? Sementara Ayah sama Bunda kamu aja udah ngasih izin," terang Hera sembari mengulas senyum tipis.

"Tapi ...."

"Nanda teman kamu, Mandala. Dia butuh kamu, bukan hanya sekadar menemaninya tapi juga untuk menguatkannya dalam kesedihan ini. Berikan bahumu untuk tempatnya bersandar, karena saat ini kamu adalah satu-satunya orang yang dia butuhkan. Ak--"

Sebuah pelukan tiba-tiba dari Mandala menghentikan ucapan Hera, kedua lengan Mandala memenjarakan tubuh semampai sang kekasih dalam dekapannya.

"Jangan diteruskan!"

Hera bungkam. Wajahnya kini bersandar nyaman di dada Mandala, mencium bau tubuh sang kekasih sebanyak yang dia inginkan.

"Aku memang sahabatnya Nanda, Her, tapi bahuku adalah milik kamu. Aku hanya akan menghibur dan menemaninya, selebihnya Nanda bisa mengurus dirinya sendiri."

Bahu kamu memang milik aku, Mandala. Dan aku berharap akan seperti itu selamanya.

"Lama nggak perginya?" Hera mendongak, wajah sendunya menatap Mandala.

Mandala tersenyum. Telapak tangannya naik untuk mengusap pipi Hera, lalu berkata, "Nggak lama. Mungkin dua atau tiga hari. Kamu bisa, kan, nahan rindu selama itu?"

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang