Jika bisa berbicara, kedua tungkai Mandala dan Nanda pasti akan mengeluh lelah. Bagaimana tidak, sejak pagi sampai menjelang sore kedua sahabat itu tidak lelah menjelajah kota Tokyo. Senyum yang menghiasi bibir keduanya tidak pernah surut. Genggaman tangan keduanya sangat awet.
Nanda tidak sedikit pun mengeluh lelah meski Mandala menyeretnya ke sana kemari. Walau wajahnya terus tersenyum, tetapi hatinya tersiksa. Diam-diam dia menghitung waktu yang telah dilaluinya bersama Mandala sampai saat ini. Semuanya masih belum cukup, baginya.
Meski rasa itu tidak pernah terucap dari bibir, tetapi sikap dan tingkah keduanya menggambarkan bahwa diantara keduanya tidak hanya sebatas sahabat. Tetapi, pandangan itu hanya berlaku bagi orang luar. Nyatanya kedua sahabat yang sejak tadi menghabiskan setengah hari mereka dengan berkeliling kota Tokyo tidak pernah melanggar batasan mereka sebagai sahabat. Nanda dengan sikapnya yang tetap tidak ingin terikat dan ingin bebas, seperti katanya. Dan Mandala yang sudah menemukan belahan jiwanya, telah membulatkan tekad untuk hanya mencintai kekasihnya.
Nanda tidak siap, sangat tidak siap untuk merelakan jika suatu hari nanti saat-saat seperti ini tidak bisa lagi dia rasakan. Bolehkah, dia egois? Ingin Mandala lebih lama di sisinya. Setiap kali kenyataan menamparnya, mengingatkannya dengan keras bahwa dia hanya sebagai sahabat Mandala. Tidak lebih. Untuk itu dia tidak boleh bersikap egois dan serakah untuk memiliki Mandala. Sebab, sahabat itu ada batasan-batasannya.
Sahabat jadi cinta, mungkin itu hanya berlaku bagi orang lain. Tidak berlaku untuk Nanda dan Mandala. Keduanya sejak awal tidak pernah direstui oleh semesta untuk keluar dari persahabatan. Walau hati dan batin tersiksa, tetapi tidak ada yang harus marah. Ini adalah jalan yang telah dipilih. Saling mencintai sebagai sahabat sepertinya adalah takdir Nanda dan Mandala. Ini adalah garis takdir yang sejak awal telah menjadi tapal batas bagi keduanya. Sebab, cinta itu tidak bisa diraih jika tidak ada pengakuan. Tidak ada kejujuran. Dan Nanda sadar, baik dia maupun Mandala tidak pernah ada di jalur itu.
"Mandala habis ini kita ke mana?" Nanda masih betah menyandarkan kepalanya ke pundak Mandala.
"Makan. Gudang tengah udah demo, nih," ujar Mandala. "Enaknya makan apa, ya?"
"Apa aja. Aku juga udah laper banget."
"Gimana kalau ramen?"
Nanda terdiam sesaat, lalu dia mengangguk. "Tapi kamu yang bayarin."
"Habis ini bangkrut aku," keluh Mandala, dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin.
"Ck, nggak usah lebay deh. Kita cuma makan ramen, bukan beli pulau. Ayo, aku udah lapar ni." Nanda menarik paksa Mandala. Membawa langkah keduanya menuju restoran ramen yang tidak jauh dari mereka.
"Habis ini kita pulang, kan?" tanya Nanda ketika keduanya sudah memasuki restoran.
"Nggak. Masih ada tempat yang mau aku kunjungi dulu."
"Ke mana?"
"Nanti aja bahasnya. Kita makan dulu."
Nanda tahu, Mandala jika sudah berhadapan dengan makanan pasti tidak ingin membahas apa pun. Menurutnya itu tidak sopan. Karena Nanda sudah mengenal Mandala sejak kecil, kebiasan-kebiasan A sampai Z yang melekat pada Mandala sudah dihapal di luar kepala.
Sambil menunggu pesanan mereka, diam-diam Nanda mencuri pandang pada pria di hadapannya. Mandala bagaikan air danau yang tenang, menghanyutkan. Bahkan mampu menenggelamkan Nanda ke dasar. Afsun yang menguar dari dirinya tidak pernah gagal membuat Nanda jatuh berulang kali padanya. Namun, sebanyak apa pun Nanda jatuh Mandala tidak pernah mengulurkan tangan untuk meraihnya. Tidak peduli seberapa keras usaha Nanda untuk menggapai Mandala. Sebab, Mandala sudah meraih dan menggenggam tangan wanita pilihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
Genç Kız EdebiyatıDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...