Ragaku rumpang tanpa dirimu.
NOT MY DESTINY
Bandara Narita masih tetap sama, berdiri megah menyaksikan ratusan bahkan ribuan orang yang mendatanginya setiap saat. Mandala dan Nanda kembali menginjakkan kaki di Bandara Narita. Terhitung dua hari mereka berada di Tokyo, menghabiskan waktu dengan menimbun kenangan.
Selayaknya orang yang hendak berpisah dengan keluarga. Petuah singkat pun tidak dapat dihindari. Mandala hanya tersenyum menatap salam perpisahan Nanda dengan kedua orangtuanya. Seperti biasa, berbagai macam wejangan terlontar dari bibir tante Anisa begitu juga dengan om Rafka.
"Nanda, jangan keseringan begadang, ya, Sayang. Nggak boleh mandi malam juga. Awas aja kalau sampe ada laporan dari Bi Mina kalau kamu nggak nurut apa yang Mama bilang." Nanda mengangguk mendengar nasihat yang sama. Pasalnya pesan itu selalu diutarakan juga setiap kali Nanda menelpon. Telinganya sudah bosan, Nanda selalu acuh tak acuh dengan nasihat mamanya. Jika dia tidak mengindahkan nasihat mamanya, bi Mina pasti akan membuat laporan. Dan Nanda sama sekali tidak menyalahkan bi Mina yang suka melaporkan kebiasaan buruk pada sang mama. Nanda mengerti, bi Mina peduli dengannya.
"Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir soal itu. Nanda janji nggak akan mandi malam dan begadang lagi. Oke."
"Bi, nanti jangan lupa pantau Nanda terus, ya? Kalau dia ngelangar segera kasih tahu saya," jelas Anisa pada ART kepercayaannya.
"Siap, Nyonya." Semua tertawa melihat antusiasme dari bi Mina. Wanita paruh baya itu selalu menjadi orang kepercayaan Rafka dan Anisa untuk menjaga Nanda. Dan bi Mina tidak pernah lalai dengan tugasnya. Tentu saja bersama sang suami yang selalu menjadi partnernya untuk menjaga Nanda. Pak Jali.
Selesai mendengar wejangan mamanya, kini Nanda beralih pada papanya yang sudah menunggu giliran untuk mengeluarkan petuahnya. Nanda tersenyum menatap sang papa, ada perasaan tidak rela harus berpisah.
"Papa," ucap Nanda sambil memeluk sang papa. Membenamkan wajahnya di dada, merasakan betapa tenang dan hangat pelukan dari papanya. "Papa jangan kerja terlalu keras. Nanda nggak mau Papa sakit. Nanda takut, Pa. Takut kehilangan Papa. Nanda sayang sama Papa."
Rafka menengadah, kedua netranya berkaca-kaca mendengar pernyataan memilukan sang putri. Namun sekuat apa pun Rafka berusaha menghalau air matanya, kristal bening itu akhirnya membasahi kedua pipinya.
"Kamu nggak usah khawatirin Papa, Nanda. Papa udah sehat," ujar Rafka. Telapak tangannya bergerak lembut mengusap punggung rapuh sang putri. Entah mengapa Rafka merasa ada kesedihan yang menaungi Nanda sejak dia tiba di Tokyo. Dan sampai saat ini kesedihan itu masih bisa Rafka rasakan.
"Kamu makan yang benar, ya. Habis kerja langsung pulang. Kalau mau ke mana-mana, jangan sendirian. Minta Bi Mina sama Pak Jali nemenin kamu." Nanda mengangguk lemah. Kedua telinganya mendengar dengan saksama setiap petuah yang meluncur dari bibir papanya. Pria yang Nanda paling cintai. Pria yang tidak pernah melukai hati Nanda.
Mandala terharu melihat perpisahan yang cukup menyentuh hatinya. Dia mengerti betapa besarnya cinta dan sayang om Rafka pada Nanda. Sebagai anak tunggal, Nanda menerima kelimpahan kasih sayang yang tidak pernah setengah-setengah. Tiba-tiba gemuruh di dadanya memelan, Mandala lagi-lagi merasa perih melihat kesedihan sahabatnya. Namun dia memilih untuk terlihat biasa saja. Mandala sudah berjanji untuk menjaga batasan saat bersama Nanda.
Tahan Mandala. Jangan coba-coba larut dalam keadaan, batin Mandala.
Sebisa mungkin dia mengabaikan jeritan hatinya yang selalu memaksanya untuk menyediakan pundaknya sebagai tempat sandaran Nanda. Namun, sekali lagi Mandala sadar bahwa perlakuan seperti itu hanya akan membuatnya semakin susah untuk lari dari Nanda
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
ChickLitDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...