Panasea || Remedi bagi semua penyakit atau kesulitan||

76 7 4
                                    

Setiap pagi datang, aku selalu berharap perjalanan hidup penuh teka-teki ini segera berakhir. Sebab, pahitnya jatuh cinta tanpa balasan itu bagai memakan buah simalakama.

NOT MY DESTINY








Cahaya matahari pagi yang menyilaukan masuk melalui celah jendela. Mengusik tidur nyenyak Mandala yang masih bergelung nyaman dengan memeluk bantal guling. Perlahan, kelopak mata Mandala bergerak membuka. Senyumnya merekah kala pandangannya tertuju pada kota kecil yang di letakkan di atas nakas. 

Mandala meraih kotak tersebut, membukanya secara perlahan. Senyumnya melebar melihat betapa cantiknya cincin pilihannya yang akan menghiasi jari manis sang kekasih. Ah, perut Mandala seakan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu membayangkan Hera memakai cincin pemberiannya.

"Selamat, Mandala. Sebentar lagi kamu bukan pria lajang." Mandala merasa sudah cukup bermain-main, sudah saatnya dia menjalani hidup bersama orang yang tepat. Kali ini Mandala akan serius mengambil langkah untuk terus maju, bersama Hera.

Masih dengan keadaan berbaring Mandala meletakkan kembali kotak kecil yang berisi cincin ke atas nakas, lalu mengambil ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Berarti di Indonesia masih jam lima, perbedaan dua jam cukup membuat Mandala menahan keinginan untuk tidak menelpon Hera di pagi-pagi buta ini. Namun, kehadiran satu pesan yang berasal dari sang ayah cukup mengejutkan Mandala. Kedua alis Mandala bertaut heran melihat pesan yang berasal dari ayahnya. Setahu Mandala, ayahnya tidak pernah mengirim pesan. Biasanya ayahnya akan langsung menelpon, bukan tipe yang ribet. Karena merasa penasaran Mandala membuka pesan tersebut, betapa kagetnya dia saat membaca deretan tulisan konyol yang sayangnya terlihat begitu manis. 

Bibir Mandala menahan tawa. Setelah membaca pesan manis itu Mandala akhirnya tahu siapa yang mengirimkan pesan. Diakhir isi pesan, ada nama pengirimnya. 

"Miranti," gumam Mandala. Mandala masih tidak habis pikir dengan tingkah ajaib adiknya. Bisa-bisanya Miranti mengirimkan pesan manis kepadanya dengan menggunakan ponsel ayah mereka. Tidak puas hanya membaca sekali, Mandala kembali menekuri isi pesan sang adik.

Ayah

Hari ini mau ke rumah sakit lagi buat jenguk calon keluarga kita. 

Ini Miranti, bukan Ayah. 

Tawa Mandala pecah. Berulang kali dia membaca pesan singkat yang dikirimkan Miranti, ada rasa bahagia menyusup ke relung hatinya. Semesta merestui pilihannya. Semua keluarganya mendukung Mandala bersama Hera, bahkan Miranti, yang paling menentang para wanita yang pernah Mandala bawa ke rumah. Harusnya ini sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan Mandala agar tidak bimbang lagi. Sudah cukup, sudah habis jatahnya untuk merindu hal-hal semu bersama Nanda. Tidak seharusnya dia menjadi pria brengsek yang tidak tahu adab.

Sedang asik menekuri pesan dari Miranti, tiba-tiba pintu kamar Mandala diketuk.

"Siapa?" teriak Mandala serak, kerongkongannya kering sehabis menertawakan pesan Miranti.

"Ini aku, Nanda." Mandala menyugar rambutnya ke belakang. Baru saja dia berjalan lurus, kini sudah mulai serong. Sebegitu kuatnya rasa yang Mandala semaikan untuk Nanda sampai-sampai dia tidak pernah bisa lari dari sahabatnya itu. Mandala bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju pintu dan membukanya. Paras secerah arunika menyambut pagi Mandala, mau tidak mau Mandala menyunggingkan senyum menatap Nanda. 

"Lama banget sih, bangunnya. Kita semua udah nunggu kamu buat sarapan," kata Nanda, sambil berkacak pinggang. Suaranya boleh bernada marah, tetapi wajahnya tidak menunjukkan demikian. Yang ada pipinya bersemu merah mendapati wajah bantal Mandala yang terlihat begitu tampan. 

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang