Hesitasi || Keraguan-keraguan||

61 9 2
                                    

Mandala sampai harus berlari-lari setelah membaca pesan yang dikirimkan Dara, sekretarisnya. Dara mengatakan bahwa ada Dewa di kantornya. Pria paruh baya itu bahkan sudah menunggu Mandala dari jam makan siang tadi. Mandala mengutuk Dara yang berani-beraninya menunda untuk memberitahukan hal sepenting ini padanya. 

Sampai di depan meja Dara, Mandala melirik kesal pada sekretarisnya yang hanya meringis sambil membungkuk. Kalau Mandala emosian, dia pasti sudah mencecar Dara dengan sejuta umpatan yang sudah berkobar di dalam kepalanya.

"Pak, maa--" Dara mengusap dadanya tanpa melanjutkan ucapannya, dia melihat Mandala sudah mandi-mandi keringat dan berlalu begitu saja masuk ke dalam ruangannya. 

"Salah lagi aku," gumam Dara. Dia sendiri sudah ingin mengabarkan atasannya, hanya saja Dara ingat kalau Mandala saat makan siang nanti akan keluar. Sehingga Dara berasumsi jika sang atasan sedang tidak ingin diganggu.

Mandala mendorong pintu dengan jantung yang berdebar kencang karena berlari dari parkiran, tak ingin membuat Dewa semakin lama menunggu.

"Maaf, Pak. Maafkan saya karena telah membuat Anda menunggu," sesal Mandala begitu berhadapan langsung dengan Dewa. Mandala tengah membungkuk sembari meminta maaf, berharap sedikit rasa bersalahnya dapat mengurangi kekesalan yang sebenarnya bukan kesalahan Mandala.

Karena tak kunjung mendapat balasan, Mandala mendongak perlahan. Kedua pasang mata Mandala dan Dewa bertemu, tatapan tajam dari Dewa membuat Mandala was-was. Jujur, raut wajah Dewa tampak tidak bersahabat. Entah karena dibuat menunggu terlalu lama ataukah ada hal lain.

"Apa seperti ini seorang penerus Arya Mahesa? Makan siang selama berjam-jam dan mengabaikan urusan pekerjaan," kata Dewa dengan pandangan masih tak lepas dari Mandala.

Selama beberapa detik, Mandala dibuat tercengang dengan ucapan tanpa basa-basi dari pria paruh baya di hadapannya. Dan, jujur itu cukup menyinggung ego Mandala. Secara tidak langsung Dewa sedang membanding-bandingkan dirinya dengan sang ayah. Mandala tidak suka itu. Tetapi, Mandala berusaha menahan diri untuk bereaksi berlebihan.

"Maafkan saya, Pak Dewa," sahut Mandala sopan sambil duduk tepat di hadapan Dewa.

Terdengar helaan napas panjang dari Dewa begitu ucapan maaf yang kedua kalinya terlontar dari bibir Mandala. Dan, ya, sepertinya dia harus menurunkan sedikit aura permusuhan yang berasal dari dirinya.

"Sebenarnya, ini bukan murni kesalahan kamu, Mandala. Salah saya juga yang datang tanpa membuat janji terlebih dahulu," ungkap Dewa dengan tenang. Tetapi, pandangan matanya masih tetap sama. Mengawasi setiap ekspresi dari lawan bicaranya.

Mengangguk pelan, Mandala membenarkan hal itu.

"Kedatangan saya ke sini hanya untuk mencari tahu dan mengenal kamu, Mandala. Bukan sebagai rekan bisnis untuk proyek di Bali, hanya karena saya yang menggantikan Hera sementara. Lebih dari itu, saya ke sini untuk melihat langsung pria yang menjadi kekasih keponakan saya," jelas Dewa, "Hera memang bukan keponakan kandung saya, tapi saya sudah menganggap dia seperti keponakan saya."

Sampai di sini, Mandala paham, ini mungkin alasan lain kenapa Hera sangat mempercayai Dewa. Mandala bisa melihat kejujuran yang terpancar dari sorot mata tajam Dewa, ada ketulusan dan kejujuran.

"Tapi saya nggak akan memaafkan siapa pun yang berniat menyakiti Hera. Saya nggak peduli kamu adalah anaknya Arya Mahesa. Saya tahu rekam jejak kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, Mandala. Kamu boleh berlaku seperti itu pada wanita mana pun, tapi jangan lakukan itu pada Hera!" tegas Dewa dengan menggebu-gebu. Bahkan ada bara emosi yang sedang panas-panasnya di antara kedua bola mata pria paruh baya itu.

Mandala tidak mengelak akan ucapan blak-blakan dari Dewa terkait citra dirinya yang memang buruk. Mandala sadar dan sangat sadar diri. Meski begitu, Mandala tidak akan menjelaskan alasan mengapa dia bersikap berengsek

Menanggapi apa yang baru saja dikatakan om Dewa, Mandala tersenyum tipis. Kini dia mengerti alur pembicaraan ini. Oke, Mandala akan ikut mengambil bola yang bergulir. Dia tidak suka ada orang asing yang meragukan perasaannya terhadap Hera, meski itu adalah benar. 

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Anda, Pak Dewa. Saya perlu mengucapkan terima kasih sudah begitu besar peduli dan sayang kepada Hera. Tapi maaf, saya nggak memiliki sedikitpun niat untuk memperlakukan Hera seperti yang lainnya. Saya serius dengan Hera. Dan Anda nggak perlu takut saya menyakiti Hera," sahut  Mandala tegas, kejujuran terpancar dari kedua matanya. Begitu juga dengan emosi yang tampak akan meledak.

Dewa menyadari itu. Hanya sedetik dia terpaku akan kejujuran Mandala, tetapi kemudian dia kembali seperti biasa.

"Saya akan pegang kata-kata kamu, Mandala." Dewa kemudian berdiri dari duduknya, Mandala pun ikut berdiri. Dewa menatap Mandala sebelum pergi dari ruangan Mandala, masih ada yang ingin dia ucapkannya.

"Perkenalan ini sampai di sini. Kita akan bertemu lagi dengan pembicaraan yang berbeda. Saya harap kamu bisa bersikap profesional, nggak menyimpan dendam atas pertemuan kita hari ini. Atas sikap kurang menyenangkan saya yang tiba-tiba datang sebelum membuat janji. Tapi saya harap kamu mengerti dengan apa yang saya lakukan ini, Mandala."

Mandala hampir menganga mendengar pengakuan Dewa yang terdengar seperti sebuah permintaan maaf yang dikemas apik agar tidak terkesan seperti sebuah permintaan maaf, benar-benar hebat. Mandala salut dengan pria paruh baya di depannya ini. Pantas saja ayahnya terlihat mengagumi om Dewa. Ternyata pria paruh baya ini tidak bisa dianggap remeh.

Mandala ikut berdiri ketika Dewa hendak pergi, pria paruh baya itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Mandala. Setelah Dewa pergi, Mandala menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Mandala merasa tubuhnya sangat lelah hari ini. Hubungannya kali ini, sadar atau tidak banyak yang membela kekasihnya. Padahal biasanya tidak.

Mandala ingat, papanya juga pernah menyarankan bahkan memintanya untuk melepas Hera jika dia tidak serius dengannya. Mamanya pun ikut. Dan sekarang, salah satu orang terdekat kekasihnya angkat bicara mengenai hubungannya. Mandala menghembuskan napasnya pelan. Bersama Hera, Mandala merasa sedikit hidup. Tidak kaku seperti dengan kekasih-kekasihnya yang lain. 

"Hera, apa kamu benar-benar bisa menggeser dia dari hatiku? Aku nggak ingin mencari yang lain lagi, aku nggak ingin mencampakanmu seperti aku mencampakan yang sudah-sudah," gumam Mandala dengan mata yang terpejam. 

Jika dipikir-pikir lagi, Mandala sangat beruntung mendapatkan Hera. Wanita itu nyaris sempurna, bukan hanya soal fisik tapi juga sikap dan perangainya. Mandala akan sangat berdosa jika dia sampai menyakiti Hera. Memikirkan betapa baiknya hati sang kekasih, Mandala semakin tidak mampu untuk bertindak sembarang. 

Karena merasa kepalanya penuh dengan kekasihnya, Mandala berniat menghubungi Hera. Sesuatu di hatinya seolah memintanya untuk melakukan hal itu. Kedua matanya terbuka dengan gerakan pelan tangannya merogoh ponsel yang berada di saku celananya. Akan tetapi, begitu dia melihat ponselnya Mandala menemukan satu pesan dari Hera. Tidak tahu apa yang mempengaruhinya, tiba-tiba saja air mata Mandala jatuh begitu dia membaca pesan yang dikirimkan Hera.

Hera

Jangan lupa makan.


Hanya tiga kata. Namun berhasil menyentil hati Mandala, dia meremas ponselnya dengan perasaan yang campur aduk.

"Kenapa wanita sebaik ini harus mencintai pria sepertiku? Pria yang nggak bisa mencintainya dengan sepenuh hati," gumam Mandala. Perasaannya tidak pernah mampu berpaling dari dia, bahkan masih sama besar meski kini Mandala sudah berulang kali berlalu-lalang dari hati yang satu ke hati yang lain. 

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang