Implisit ||Tersirat||

97 11 3
                                    






Minggu sore seharusnya orang-orang sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Entah karena habis bepergian bersama keluarga, sahabat, atau mungkin pacar. Kalau semua orang sedang melakukan hal itu maka, Nanda sebaliknya.

Nanda hanya bisa menghabiskan waktu dengan menyendiri dan meratapi hatinya yang sedang tidak baik-baik. Sejak menguping pembicaraan bi Mina dan pak Jali, Nanda memilih ke luar rumah. Tanpa menggunakan mobil Nanda menyeret kakinya yang hanya beralaskan sendal jepit menyusuri jalan.

Langkah kaki Nanda terasa berat seolah olah dibenaknya memikul beban yang berat. Seharusnya saat ini Nanda memeriksa pekerjaan rumah anak muridnya, tapi dia tidak melakukannya. Bagaimana Nanda bisa berkonsentrasi dengan tumpukan tugas sementara pikirannya hanya terisi dengan Mandala?

Semua perkataan bi Mina melekat kuat dalam kepalanya. Bagaimana respon tante Ningrum yang begitu antusias berdasarkan cerita bi Mina semakin memojokkan Nanda. Ternyata takdir telah berkomplot untuk menjauhkannya dari Mandala.

Begitu banyak hal-hal tidak terduga yang terjadi akhir-akhir ini semuanya membuat Nanda kewalahan menghadapinya. Nanda tidak menyangka bahwa hari dimana dia dan Mandala akan merenggang seperti ini tiba juga.

Sejak dulu, dia selalu berpikir bahwa Mandala akan selalu ada untuknya. Selalu mengutamakannya. Dia yang sekarang tidak memiliki siapa pun untuk tempat berbagi cerita, mencurahkan keluh kesahnya.

Begitu banyak membawa pikiran dalam benaknya, akhirnya Nanda tersadar bahwa dia kini berada di taman komplek. Taman sederhana yang setiap pagi dan sore selalu ramai dikunjungi oleh anak-anak kecil sampai orang dewasa. Tapi saat ini taman komplek benar-benar sepi. Dengan langkah lemah Nanda mendekati bangku taman. Dia duduk di salah bangku taman dengan pandangan lurus ke depan. Menatap hijaunya pepohonan yang bergoyang ditiup angin sore.

Helaan napas terdengar begitu berat, seberat beban hidupnya. Nanda menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku taman. Menghirup udara sore yang terasa sangat dingin.

"Aku kangen sama kamu, Mandala. Kapan kita bisa seperti dulu?" gumam Nanda sedih. Baru tadi pagi dia bisa merasakan bahagia bersama Mandala, namun sekarang dia sudah ditampar kenyataan yang menyakitkan.

"Ke taman kok, nggak ngajak-ngajak, sih." Nanda sontak berbalik mendengar suara yang sangat dikenalinya. Matanya membulat begitu melihat Mandala yang berdiri belakangnya dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana.

"Kok, bisa tahu aku di sini?" Nanda berusaha menahan rasa gugup menghadapi Mandala. Sebisa mungkin Nanda menyembunyikan perasaan senang juga grogi. Dalam hati dia bertanya-tanya mungkinkah Mandala mendengar perkataannya?

Dia berusaha keras untuk terlihat biasa saja ketika Mandala melangkah ke arahnya. Memangkas jarak di antara mereka berdua. Lalu tanpa izin duduk di sebelah Nanda.

"Aku tadi nggak sengaja lihat kamu jalan kaki sendiri. Awalnya mau aku panggil, tapi nggak jadi. Akhirnya aku mutusin buat ngikutin kamu," ujar Mandala.

Mandala menyerongkan badannya untuk berhadapan dengan Nanda. Menatap wajah manis sahabatnya yang terlihat menyedihkan. Lamat-lamat, Mandala menatap Nanda. Diperhatikan sedemikian dalam, Nanda menjadi salah tingkah.

Mengalihkan wajahnya yang terasa panas, Nanda menatap pepohonan di hadapannya.

Melihat Nanda yang mengalihkan pandanganya, Mandala menarik napas panjang. Di dalam kepalanya dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang membuat sahabatnya ini tampak sedih.

"Ada apa? Kamu ada masalah di sekolah?" tanya Mandala, masih dengan pandangan yang tertuju pada Nanda.

Nanda menggeleng kecil, masih enggan untuk mengeluarkan suaranya.

"Nanda, kamu tahu kan, kalau kamu bisa cerita apa pun ke aku. Kalau kamu punya masalah kasih tahu ke aku, mungkin aku bisa bantu. Jangan disimpan sendiri. Aku takut kamu sakit," jelas Mandala. Dia berharap Nanda bisa memberitahu apa yang tengah menjadi masalahnya.

"Aku hanya butuh udara segar, Mandala," tutur Nanda sembari menatap Mandala.

Keduanya kini saling berpandangan yang begitu hangat. Tetapi, Nanda harus mengakui kehangatan dari kedua mata Mandala yang kembali seperti dulu. Pandangan seperti itu yang selalu Nanda rinduku, pun yang mampu meluluhkan hatinya.

Berulang kali Nanda selalu terpesona oleh Mandala. Semua yang ada pada Mandala adalah magnet yang selalu menarik Nanda untuk mendekat. Tidak peduli dengan luka dan rasa sakit yang sudah mengantri di belakang.

"Apa mencari udara segar harus sampai ke taman kompleks?" tanya Manda sarkas. Berusaha menyembunyikan kekesalannya mendengar jawaban Nanda. Mandala tahu, ada sesuatu yang coba disembunyikan Nanda darinya. Dia tahu Nanda sedang berbohong.

Menyadari bahwa kebohongannya telah tercium, Nanda tersenyum tipis. Tidak ada rasa marah atas pertanyaan sarkas yang dilontarkan Mandala padanya. Yang ada hanya rasa bahagia karena Mandala masih peduli padanya. Terbukti dari cara Mandala yang mengetahui bahwa dia menyimpan kebohongan.

"Aku kangen Papa sama Mama," ucap Nanda, "aku pengen ketemu Papa sama Mamaku, Mandala." Kali ini Nanda tidak berbohong. Dia memang merindukan papa dan mamanya, dia ingin bertemu keduanya. Ingin menceritakan banyak hal. Terutama bercerita tentang hatinya yang sangat tidak beruntung.

Mandala tersentuh melihat kesedihan yang terpancar dari wajah Nanda, dia pun bisa merasakannya. Tanpa kata Mandala menarik Nanda dalam pelukannya, memeluk dengan erat.

"Rasanya aku ingin menyusul Papa dan Mama, Mandala. Aku ingin tinggal bersama mereka," ucap Nanda dari balik pelukan Mandala. Air mata yang sejak tadi berdiam diri akhirnya luruh. Nanda menangis di dalam pelukan Mandala. Pelukan yang berhasil membuatnya kuat tapi juga berhasil membuatnya lemah.

Jangan pergi, batin Mandala.

Dia tidak rela Nanda pergi. Sampai kapanpun Mandala tidak akan rela.

Mandala mengurai pelukannya, menatap wajah Nanda yang telah basah dengan air mata. Dengan penuh kelembutan ibu jari Mandala mengusap air mata yang berderai di pipi sahabatnya.

Jangan menangis, Nanda. Batin Mandala kembali berteriak, memohon agar Nanda jangan menangis.

"Kalau kamu kangen Om Rafka dan Tante Anisa, kamu bisa menghubungi mereka. Kalau masih belum bisa terobati juga, kamu bisa meminta cuti beberapa hari untuk mengunjungi mereka di sana, Nanda. Tapi kamu nggak perlu tinggal di sana dengan mereka. Suatu saat nanti mereka pasti kembali," jelas Mandala dengan lembut. Walau sebenarnya dari perkataan Mandala tersirat sebuah larangan agar Nanda tidak benar-benar melakukan niatnya tersebut.

Nanda terpaku, mendapatkan perlakuan lembut Mandala yang sudah lama tidak lagi dirasakannya.

Mandala seperti inilah yang Nanda rindukan. Mandala seharusnya selalu berada di sininya. Menemaninya kala sedih dan memeluknya kala dia terjatuh. Sebuah afeksi yang muncul di hati Nanda menimbulkan rasa egois agar Mandala tetap seperti ini. Semua perlakuan Mandala yang seperti ini justru membawa jutaan rasa cinta Nanda semakin menumpuk untuknya.

Bagaimana Nanda bisa merelakan Mandala untuk dimiliki orang lain?

Dulu, ketika Nanda menangis Mandala akan menghapus air matanya. Memeluknya untuk menenangkannya dan berusaha menghibur Nanda. Tapi seiring berjalannya waktu semua perlakuan Mandala yang manis itu mulai terkikis oleh kehadiran orang lain diantara mereka berdua. Seperti yang saat ini terjadi.

Kenapa harus begini? Kenapa harus aku yang mengalah untuk Hera? Kenapa harus dia yang memiliki hati Mandala?

Suara penuh ketidakrelaan itu memenuhi ruang-ruang di kepala Nanda. Menanti waktunya untuk keluar. Namun sampai saat ini tidak pernah menemukan jalan untuk keluar.

Dalam diam, keduanya hanya saling memandang. Angin sore yang berhembus lembut menjadi pengisi suara diantara keheningan keduanya. Sampai akhirnya waktu berharga itu terputus dengan hadirnya bunyi ponsel Mandala. Dengan sangat tidak rela Nanda mengambil jarak dari Mandala, membiarkan Mandala mengangkat panggilan masuk di ponselnya. Tanpa sengaja Nanda melihat nama penelpon di layar ponsel Mandala.

Hera

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang