Evokatif || Mampu Menggugah Rasa||

71 12 11
                                    

Seharusnya dari awal Nanda menanyakan ke mana Mandala akan mengajaknya pergi. Bukan malah mempersiapkan diri secantik mungkin saat tahu Mandala akan mengajaknya. Sekarang, Nanda terjebak pada situasi buruk. Tidak tahu harus bagaimana bersikap di hadapan wanita yang menjadi saingannya. Beginilah jadinya jika perasaan cinta tidak pernah diungkapkan, harus siap terluka kapan saja. Namun, sejak awal Nanda memang tidak berniat untuk mengungkapkan perasaannya. Dia tidak mau mengambil risiko. Dia tidak ingin merusak persahabatannya dan Mandala.

Nanda hanya berharap hatinya kuat sampai drama ini berakhir. Dia tidak akan meminta apa pun untuk saat ini. Nanda sadar, ini adalah konsekuensi jika mencintai tanpa syarat itu berat, mencintai tanpa mengharapkan balasan akan menghasilkan luka yang tidak main-main.

Suasana canggung di dalam ruangan rawat mamanya Hera sangat terasa. Bukan karena mereka belum saling kenal, bukan itu. Melainkan kehadiran Nanda yang ikut serta bersama Mandala ke rumah sakit. Walau merasa sedikit aneh, Indira tetap menebar senyum teduhnya. Matanya menatap ramah pada sepasang manusia baru di dalam ruangan rawatnya. Pria yang tampak keren dengan kemeja putihnya meyakinkan Indira bahwa dia lah pria yang ditunggu sang putri.

"Ma, ini Mandala," ujar Hera pada Indira, dia memperkenalkan Mandala. Kekasihnya. 

"Maafin Mandala, Tante. Mandala baru bisa memperkenalkan diri hari ini. Saya Mandala Garda Mahesa kekasih anak Tante," ujar Mandala dengan tegas. Ketegasannya menciptakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perut Hera. Wajahnya merona merah, bibirnya tersenyum lebar mendengar pernyataan Mandala.

Seulas senyum tersungging di bibir Mandala, dengan segala kesopanannya dia maju dan meraih telapak tangan Indira. Mencium punggung tangan yang lemah itu. Hati Indira bergetar melihatnya, sungguh pria yang baik. Lalu Mandala mundur, beralih pada Nanda yang sejak tadi tampak seperti manekin. Diam tanpa suara.

"Tante, Hera, maaf sebelumnya. Mandala ke sini juga bawa sahabat Mandala. Nanda, ayo, kenalan sama Tante Indira dan Hera," ajak Mandala.

Bunuh saja aku, batin Nanda.

Akan tetapi, dia tetap melakukan apa yang Mandala pinta. Nanda hanya berharap Tuhan menguatkannya, memberinya mukjizat untuk tetap berdiri di atas medan perang ini. Mati-matian Nanda memaksakan senyum di bibirnya, dengan segala kesopanan dan keramahtamahannya Nanda melakukan hal serupa. Mencium punggung tangan Indira.

"Saya Nanda, Tante. Sahabat Mandala dari orok sampai sekarang," ucap Nanda, "maafin Nanda kalau kedatangan Nanda buat Tante Indira sama Hera enggak nyaman."

"Nggak, kok. Aku sama Mama sama sekali nggak merasa begitu. Iya, kan, Ma?" Hera menatap mamanya, meminta persetujuan. Dan Hera mendapati mamanya mengangguk pelan. "Tuh, Mama aku setuju. Aku justru senang bisa kenal sama sahabat Mandala. Kalau kamu nggak keberatan aku juga mau temenan sama kamu. Kamu mau, kan, temenan sama aku?" Hera bahkan menyodorkan tangannya di depan Nanda diikuti dengan senyumnya yang lebar.

Tidak sama seperti perempuan lain yang mungkin akan terganggu jika kekasih mereka memiliki sahabat perempuan. Hera justru sebaliknya, Nanda bisa melihat lewat tatapan matanya bahwa tidak ada tanda-tanda hal itu. Yang ada Hera menyambutnya dengan baik.

Nanda merasa ragu untuk menjabat tangan Hera, tetapi, keraguan itu langsung tersingkir begitu suara Mandala menginterupsinya. 

"Nanda." Tanpa kata Nanda menyambut uluran tangan Hera. 

Tangan ini, tangan yang akan membawa Mandala jauh dariku. Haruskah aku menyambutnya dengan senang hati? Batin Nanda penuh dengan pergolakan saat Hera menggenggam tangannya dengan erat.

Seulas senyum tulus menghiasi bibir merah alaminya. Dan tidak disangka-sangka Nanda, Hera menghadiahi sebuah pelukan untuknya. Seketika tubuh Nanda kaku, untuk orang baru Hera terlalu welcom.  Walau bimbang dan ragu Nanda memilih untuk membalas pelukan Hera.

Indira yang awalnya merasa sedikit khawatir dengan kehadiran Nanda kini bernapas lega. Ternyata Nanda dan Mandala memang tidak memiliki hubungan yang lebih, kecuali sebagai sahabat. Zaman sekarang persahabatan pria dan wanita memang sering diluar batas. Ngakunya sahabat, tapi kelakuannya lebih dari sahabat.

Setelah acara peluk-pelukan berakhir, mereka memilih untuk mengobrol hal-hal seputar hobi dan pekerjaan. Di sini Hera yang paling aktif, bibirnya tidak lelah mengoceh. Mandala menjadi pihak yang lebih banyak diam, dia mengamati kedua wanita kesayangannya yang berusaha saling mengenal satu sama lain. Dan Indira sesekali menimpali dari atas ranjang. Hari ini dia akan menghabiskan waktu dengan mendengarkan ketiga anak muda di depannya. Sofa panjang yang berada di sudut menjadi tempat bertukar cerita kedua wanita muda itu. Sementara Mandala duduk santai di sofa single. Untunglah kamar yang ditempati mamanya Hera adalah kamar VIP yang fasilitasnya lengkap.

"Jadi, pekerjaan kamu Guru?" tanya Hera, matanya tidak bisa menyembunyikan kekaguman saat tahu profesi Nanda. Hera merasa Nanda sangat hebat karena menjadi seorang guru. Itu profesi yang mulia.

Nanda mengangguk, "Iya."

"Pasti senang, deh, setiap hari ketemu anak-anak yang lucu. Aku juga dulunya pengen jadi Guru, tapi almarhum Papa nggak mau. Katanya aku harus jadi penerus Papa. Maklumlah aku anak tunggal," ungkap Hera. Dan saat ini dia sudah mewujudkan keinginan papanya.

Nanda merasa sedih mendengar cerita Hera, namun dia mencoba untuk memberikan respon demi terus bergulirnya alur pembicaraan ini. Tidak ada salahnya dia mencoba berbaur dengan Hera, mengenal wanita yang tampak berkelas meski tidak mengenakan setelan kantoran yang mahal. Nanda sadar semakin Hera berusaha dekat dengannya, dia akan semakin terpuruk. 

"Tapi aku salut sama kamu. Kamu bisa mengabaikan keinginanmu dan memilih untuk menjalani pilihan Papamu. Pasti berat meninggalkan apa yang kamu sukai," ucap Nanda. Dia mengerti apa yang dirasakan Hera, karena dia juga anak tunggal. Hanya saja Nanda tidak pernah dipaksa oleh papa atau mamanya untuk menjadi seperti yang mereka inginkan. Yang ada justru sebaliknya, semua keinginan Nanda akan didukung oleh papa dan mamanya.

Hera menyetujui apa yang dikatakan Nanda. Memang berat melepas keinginan dan cita-citanya, dan memilih untuk melakukan apa yang tidak disukai. Tapi sekali lagi, ini adalah keinginan papanya. Pria paling mencintai Hera lebih dari siapa pun.

"Kamu benar, Nan. Tapi setelah aku jalani apa yang Papa aku mau, aku menemukan satu fakta bahwa nggak semua hal yang terpaksa itu menyiksa. Ketika aku mulai menjalaninya aku justru jatuh cinta pilihan yang nggak aku sukai itu."

Apa karena kamu bertemu dengan Mandala? Iya, kan? Nanda menahan lidahnya untuk tidak melontarkan pertanyaan itu.

"Dan hal yang membahagiakan itu adalah Mandala. Karena aku bertemu dengannya. Mungkin Tuhan ingin memberikan hadiah atas kerja kerasku karena sudah melepaskan cita-citaku demi berbakti kepada Papa," ungkap Hera dengan wajahnya yang kini sudah menatap Mandala.

Seakan ikut senang menjadi bagian yang penting bagi Hera, Mandala pun membalas tatapan sang kekasih dengan senyum terbaiknya. Dan semua itu tidak luput dari penglihatan Nanda. Lagi-lagi dia harus menyaksikan drama romantis yang menyesakan dadanya. Berulangkali rasa itu hadir dan membuat luka di tempat yang sama, tetapi, berulang kali juga dia tetap bertahan. Mungkin ini yang dikatakan "cinta itu buta" tidak bisa berpaling walau tahu ada selaksa lara yang berbaris rapi dibelakang.


NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang