Efemeral

102 17 5
                                    

Setiap episode-episode kebersamaan kita, aku akan menyimpannya dengan rapi di dalam hati ini.

NOT MY DESTINY 

Kenyataan bahwa hidup itu kejam adalah hal yang tidak terbantahkan. Tidak peduli seberapa banyak orang tersakiti menghujatnya, membencinya, hidup tidak akan berubah. Karena hidup itu adil, jika dia tidak kejam, maka dia tidak akan menarik. Meski begitu hidup juga baik. Memberikan episode-episode bahagia setelah kejamnya. Semua orang tahu itu bahkan, hidup pernah memberikan bahagia kepada mereka yang menganggapnya kejam.

Nanda menyantap bakso tusuk yang dibelikan Mandala dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Wanita mana yang tidak bahagia jika dibelikan makan oleh pria yang mereka cintai? Pasti semua wanita akan bahagia. Iya, kan?

"Om Rafka sama Tante Anisa udah lama nggak balik, ya?" tanya Mandala. Tangannya memegang botol air mineral yang dibelinya bersama bakso tusuk Nanda. Matanya menatap lurus ke depan, melihat kerumunan orang-orang yang sibuk berjalan santai atau pun yang berlari-lari di Alun-Alun Utara.

"Hm, udah lima bulan," jawab Nanda.

Mandala menoleh ke samping, melihat betapa lahapnya gadis di sampingnya mengunyah satu per satu bakso tusuk yang dibelinya. Ada perasaan hangat yang menyelimuti Mandala, mereka berdua sudah lama tidak sedekat ini. Kesibukan mereka telah merentangkan sebuah jarak yang tidak terhitung.

"Ternyata masih sama," gumam Mandala.

Nanda mendongak, menatap Mandala dengan wajah bingung. "Apanya yang masih sama?"

Mandala menggeleng, "Bukan apa-apa."

Nanda hanya mengedikan bahunya, kembali melanjutkan makannya. Mengabaikan sikap Mandala yang sedikit aneh. Sayangnya, sikap abai Nanda pada Mandala tidak berlangsung lama. Tidak setelah sebuah topik pembicaraan yang tabu digaungkan pria di sebelahnya seketika membuat selera makan Nanda hilang. 

"Nan."

"Hm."

"Aku punya pacar lagi. Nggak tahu yang ini bertahannya berapa lama," kata Mandala. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang diartikan Nanda sebagai sebuah kebahagian pria itu.

Sayangnya, Nanda justru tidak bisa tersenyum mendengar pengakuan Mandala. Tanpa sadar Nanda meremas kantong plastik yang membungkus bakso tusuknya. Kenapa di saat seperti ini Mandala harus membahas sesuatu yang tidak seharusnya dibicarakan? 

Seharusnya Mandala tahu bahwa hal itu menyakiti perasaan Nanda. Melukai hati Nanda sampai ke akar-akarnya. Sayangnya, Mandala tidak tahu jika topik pembicaraannya menyakiti hati Nanda. Sebab, dia tidak tahu jika sahabatnya itu menyimpan rasa terhadapnya. 

Sebagai sahabat Nanda hanya bisa mendukung Mandala, berharap agar Mandala bahagia. Namun, sebagai wanita Nanda berharap sebaliknya. Dia tidak rela.

"Semoga aja yang ini betah, ya." Ada rasa tak rela mengikuti ucapannya.

Setelah itu, hatinya berjuang mati-matian untuk menahan sakit dan perih atas luka yang kembali Mandala torehkan untuknya. Batin Nanda tertawa, menertawakan pikirannya yang kembali menyalahkan Mandala. 

"Hm. Terus, kamu gimana?" tanya Mandala. Dia juga ingin tahu bagaimana perjalanan asmara sahabatnya, mungkin.

"Gimana apanya?" Nanda seolah linglung dengan pertanyaan Mandala. Padahal, dia tahu apa yang laki-laki itu maksudkan.

"Kamu nggak mau punya pacar? Nggak capek apa jomlo terus?"

Remasan plastik bakso tusuk semakin erat, bahkan kuahnya sampai tumpah dan membasahi tangan Nanda. Tapi, dia mengabaikannya. Karena Nanda membutuhkan sesuatu untuk melampiaskan rasa tidak nyaman sejak pertanyaan Mandala terdengar.

"Aku nggak mau punya pacar. Aku masih ingin menikmati waktuku, masih ingin bebas dan melakukan apa yang aku inginkan tanpa harus terikat. Dan aku nggak capek menjadi seorang jomlo. Karena jadi jomlo nggak semengerikan yang orang katakan." Nanda menertawakan dirinya saat sadar dia begitu lancar merangkai kata untuk berbohong tentang perasaannya.

Mandala mengangguk. Bibirnya pun tersenyum mendengar pernyataan sahabatnya. Dan, hatinya entah mengapa merasa lega karena Nanda ternyata masih belum memiliki seseorang yang spesial di hatinya. Tapi, Mandala segera menyingkirkan pikiran sepihaknya itu. Walau bagaimana pun Nanda berhak memiliki seseorang yang special dalam hidupnya. Selain kedua orang tuanya, tentu saja.

Nanda mengangkat kepalanya cepat kala telapak tangan Mandala mendarat di atas kepalanya. Mengusap dengan hati-hati dan menyingkirkan beberapa helai rambut Nanda yang keluar dari ikat rambutnya.

"Mandala?" Nanda hampir tidak percaya dengan apa yang pria itu lakukan. Tidak tahukah Mandala, bahwa apa yang dilakukannya dapat memacu detakan jantung Nanda?

"Apa pun keputusan kamu, aku akan mendukungnya. Tapi, kamu juga harus memikirkan masa depan kamu. Dengan siapa nanti kamu akan memulainya. Semua itu membutuhkan proses yang panjang, aku nggak mau kamu salah pilih jika kamu nggak memulainya dari sekarang. Nggak ada salahnya membuka hati untuk seseorang. Jomlo itu memang nggak melelahkan. Dan memiliki seseorang di sisi kamu juga nggak buruk, Nan."

Mandala tahu apa yang dia katakan telah masuk ke ranah privasi Nanda, tapi dia merasa perlu mengatakan itu untuk sahabatnya. Dia juga ingin Nanda memiliki seseorang yang bisa melindunginya, bisa menjadi tempat bersandar. Itu saja.

"Aku tahu, aku udah mencampuri urusan pribadi kamu. Tapi sebagai sahabat kamu, aku juga ingin melihat kamu bahagia, Nanda. Nggak ada salahnya, kan, mengizinkan orang lain masuk ke hidupmu?"

Sudah ada orang lain di hidup aku, Mandala. Orang itu kamu.

"Aku ... belum siap, Mandala."

"Nggak apa-apa, Nan. Kalau kamu sudah siap kasih tahu aku," kata Mandala.

Mata Nanda melebar mendengar ucapan Mandala, otaknya berusaha keras mencerna ucapan Mandala. Melihat Nanda yang tampak kaget dengan ucapannya, Mandala justru tertawa. Tanpa segan dia mengacak rambut Nanda, merusak kembali apa yang sudah dirapikannya. Hal sederhana yang membuat kadar cinta Nanda padanya semakin naik level.

Tuhan, dia yang aku cinta. Hanya Mandala.

"Aku akan membantu kamu mencari orang yang akan masuk ke dalam hidupmu, Nanda," jelas Mandala. Ucapannya itu sangat serius. Nanda bahkan bisa melihat keseriusan Mandala yang terpancar dari kedua matanya.

Nggak perlu dicari, Mandala. Karena orang itu adalah kamu.

"Aku bisa cari sendiri, Mandala."

"Aku tahu kamu bisa, Nan. Tapi sebagai sahabat aku harus memastikan pria itu pantas atau nggak, baik atau nggak. Aku ini seorang pria, aku tahu mana pria yang baik dan nggak," kata Mandala.

Sebagai orang yang paling mengenal Nanda, Mandala ingin yang terbaik untuk sahabatnya. Dia ingin ada pria yang benar-benar tulus menerima Nanda dengan segala kekurangan yang melekat pada gadis di hadapannya. Sumpah, Mandala tidak rela jika Nanda harus mendapatkan pria yang tidak baik.

"Thanks," gumam Nanda. Terima kasih karena sudah membuatku terhibur dengan lelucon menyakitkanmu, Manda. Lagi-lagi Nanda hanya bisa membungkam suara hatinya karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Mandala adalah sahabatnya, juga pria yang dia cintai diam-diam.

"You're welcome, Dora," balas Mandala. 

Dora?

Panggilan kesayangan Mandala untuk Nanda, sudah lama sekali rungu Nanda tidak mendengarnya. 

"I hate you, Mandala. Rambut aku udah nggak pendek kayak dulu. Jangan panggil aku Dora lagi!" protes Nanda dengan bibir yang mengerucut. Akan tetapi, hatinya justru bahagia.

Tawa Mandala pecah melihat ekspresi kesal Nanda yang sangat menggemaskan. Dora, panggilan Nanda sewaktu kecil adalah Dora. Itu semua gara-gara rambutnya selalu dipotong pendek seperti tokoh kartun favoritnya. 

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang