Ketika Nanda turun dari mobil, matanya langsung disuguhkan pemandangan indah yang menyentuh hatinya. Anak-anak muridnya berlarian dengan tawa dan senyum tulus.
"Ibu Guru!" teriak salah satu murid laki-laki. Nanda memutar tubuhnya untuk melihat sosok mungil yang bertubuh gempal yang melambaikan tangan. Bibir tipis Nanda tertarik ke atas, tersenyum hangat menyambut bocah laki-laki yang mulai berlari meninggalkan mamanya untuk menyapanya. Dari arah belakang seorang wanita cantik dengan gamis merah muda dengan jilbab berwarna sama tengah menyeret langkahnya untuk menyusul sang putra.
"Dewa, jangan lari-lari, Sayang!" pekik wanita bergamis merah muda. Mendengar teriakan sang ibu, bocah bernama Dewa itu memilih untuk berjalan. Senyumnya masih setia menghiasi wajah polosnya, Dewa begitu antusias menyambut ibu gurunya, Nanda.
"Pagi Ibu Guru," sapa Dewa begitu sampai di hadapan Nanda.
"Pagi juga Dewa," balas Nanda dengan lembut. "Dewa sayang, lain kali jangan lari-lari kayak tadi, ya. Kalau Dewa jatuh bagaimana?" Kini tubuhnya berjongkok untuk menyamai tinggi sang murid. Telapak tangannya terulur untuk merapikan anak rambut Dewa yang terlihat berantakan.
Dewa meringis mendengar nasihat ibu guru kesayangannya. Dia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Lagi pula selama ini dia selalu melakukan hal itu. Berlari ke arah Nanda setiap kali dia melihat Nanda.
"Tapi, kan, Dewa nggak jatuh Ibu Guru," ucap Dewa polos. Jawaban polos dari Dewa memancing tawa Nanda. Benar-benar polos. Pikirnya.
"Aduh, Bu Guru, maafin Dewa, ya." Wanita bergamis merah muda berucap sopan sambil tersenyum sungkan pada Nanda. Sedikit gemas dengan jawaban polos putranya. Nanda menggeleng, masih dengan bibir yang menyungingkan senyum.
"Nggak apa-apa, Bu Irma. Namanya juga anak-anak," ucap Nanda. Tubuhnya kini berdiri dan menatap orang tua muridnya dengan senyum ramah. Sejak menjadi guru, Nanda berusaha belajar memahami dan mengerti perasaan para ibu-ibu. Perasaan khawatir adalah salah satu yang kerap kali Nanda temukan di wajah para ibu.
"Mama, Dewa ke kelasnya bareng Ibu Guru aja. Mama nggak perlu nganter Dewa sampai kelas. Dewa udah gede," ungkap Dewa langtang. Irma, wanita yang menjadi ibunya Dewa hanya mampu mengusap dadanya, putranya benar-benar. Sok dewasa.
Sekali lagi, Irma menatap putranya. Mengusap puncak kepala Dewa dengan sayang lalu mengecup keningnya. "Dewa belajar yang rajin, ya." Dewa mengangguk patuh. Walau pecicilan Dewa termasuk anak yang pintar dan patuh pada aturan di sekolah. Dan kadang-kadang dia bersikap lebih dewasa dari usianya.
"Bu Nanda, saya titip Dewa. Tolong liatin dia, ya. Saya suka khawatir, takut kalau dia suka usilin teman-temannya," pinta Irma. Padahal tanpa diminta pun Nanda akan melakukan hal itu. Bukan hanya pada Dewa, tetapi semua murid-muridnya. Nanda selalu memperhatikan.
"Ibu Irma tenang aja. Dewa anaknya baik. Dan saya janji bakal jagain dia," tutur Nanda.
Bersama Dewa, kaki Nanda menyusuri lorong-lorong sekolah. bibirnya tak lupa menebar senyum pada setiap rekan sejawatnya dan juga orang tua murid yang masih betah menunggu buah hati mereka.
***
Bibirnya digigit kuat menahan euphoria yang acapkali hadir setiap melihat Mandala dengan tampilan bak dewa. Dia sangat bersinar, setiap saat Nanda tahu itu. Tetapi untuk kali ini Nanda merasa Mandala lebih berlipat-lipat tampannya. Setiap derap Mandala berhasil mengetarkan raga Nanda, membuat detak kehidupan Nanda bertalu-talu seolah habis marathon.
Ya Tuhan, masa depan aku kenapa makin ganteng aja, sih? Batin Nanda menjerit histeris.
"Sorry, aku telat. Jalanan macet banget. Kamu udah nunggu lama," ungkap Mandala raut wajahnya tersirat rasa tak enak karena sudah membuat Nanda menunggu. Namun Nanda membantah hal itu, dia sama sekali tidak peduli dengan keterlambatan Mandala. Lagian, pria itu hanya terlambat dua menit. Nanda pun masih akan tetap menunggu jika saja Mandala terlamat lebih dari itu.
"Nggak kok. Aku juga baru selesai kelas. Kita berangkat sekarang, kan?"
"Iya." Mandala sontak menarik pintu penumpang, mempersilahkan wanita cantik di hadapannya untuk masuk. Mendapat perlakuan manis dari sahabat sekaligus pujaan hatinya Nanda merasa akan meleleh, jika bisa. Ah, ini, ni, yang bikin Nanda susah berpaling meski tahu sakit mencintai dalam diam. Semua yang ada pada Mandala, tidak peduli baik atau buruk, Nanda menerimanya.
"Makasih," ucap Nanda halus tak lupa lupa kedua bibirnya menyungingkan senyum lebar sampai-sampai kedua lesung pipinya terlihat. Jika diawal Nanda yang terbuai oleh perlakuan Mandala, maka sekarang Mandala yang terhipnotis dengan senyum sang sahabat.
Sialan! Senyum ini yang bikin aku enggak bisa berpaling.
Senyum ini adalah alasan mengapa Mandala tidak pernah bertahan lama di lain hati. Senyum Nanda adalah hal terlarang bagi Mandala, karena senyum itu selalu mampu memporakporandakan logikanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya yang coba dia berikan untuk Hera akan menemui kesulitan. Rencana Mandala untuk berpaling dan menemukan tambatan hatinya tidak akan berjalan sesuai ekspektasi. Rasa nyaman yang diberikan oleh Hera dapat dipatahkan dengan senyum Nanda.
"Sama-sama Dora." Balasan Mandala yang tidak terduga itu langsung memupuskan senyum manis sang sahabat. Mandala spontan tertawa melihat bibir Nanda sudah mengerucut, tanda dia kesal.
"Jangan cemberut gitu, nanti makin jelek loh."
"Iiih, gimana nggak cemberut. Kamu manggil aku Dora, Mandala. Kesal tahu," ketus Nanda. Bukan merasa bersalah Mandala malah tertawa mendengarnya. Sudah lama dia tidak melihat Nanda ketus seperti ini. Biasanya Nanda hanya memasang wajah sendu dan murung, wajah yang membuat tidur Mandala tidak sedap.
"Ketawa aja sampai sukses," cibir Nanda.
Masih dengan tawa yang tersisa Mandala mengulurkan tangannya, menyentuh puncak kepala Nanda dan mengacak gemas rambut Nanda. "Sorry, sorry," ujar Mandala tatapannya menghunus lurus ke arah netra bening sang sahabat.
Ketika Mandala mengacak gemas rambutnya Nanda tersenyum menikmati. Moment-moment ini yang selalu Nanda harapkan akhirnya tercipta. Hingga akhirnya Mandala menarik tangannya, tetapi sebelum itu dia merapikan kembali anak rambut Nanda yang berantakan karena ulahnya.
"Udaha rapi lagi," ujar Mandala sambil menatap rambut hitam sepunggung Nanda. Kemudian dia menutup pintu penumpang tanpa menyadari surutnya senyum dan tawa di wajah Nanda. Begitu Mandala duduk di kursi kemudi, tangannya langsung menghidupkan mesin mobil. Menjalankan mobilnya meninggalkan sekolah.
"Kita mau ke mana?" Nanda membuka suara begitu mobil Mandala memasuki jalan utama. Otaknya langsung merangkai pertanyaan begitu sadar jarak yang mereka tempuh sudah cukup jauh.
Masih fokus dengan kemudinya Mandala melirik sekilas pada Nanda sebelum melempar kembali fokusnya pada jalanan di depan.
"Mandala, ini kita mau ke mana? Waktu makan siang nggak lama loh," kata Nanda. Di dalam hati dia bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak dilakukan Mandala.
"Nah, tujuan kita udah dekat," ujar Mandala. Tangan kirinya menunjuk plank besar yang tertulis nama sebuah rumah sakit ternama di kota Yogyakarta. Kedua bola mata Nanda mengikuti arah tangan Mandala, seketika perasaan tidak nyaman merasuk ke dalam hatinya.
Jangan-jangan Mandala ....
"Aku mau ajak kamu buat ketemu sama Hera, Nan. Aku mau ngenalin kamu sama dia. Kamu nggak keberatan, kan, ketemu sama pacar aku?" Kalau saja pertanyaan itu keluar sebelum Mandala datang ke sekolah, Nanda dengan keyakinan bulat akan menolak. Siapa yang sudi berkenalan dengan kekasih dari pria yang dia cintai?
"Nggak. Aku nggak keberatan sama sekali buat ketemu pacar kamu," kata Nanda.
Bohong.
Jauh di dalam hatinya Nanda berteriak keras. Memohon dalam diamnya agar Mandala memutar mobilnya. Nanda tidak ingin bertemu dengan wanita yang sudah berhasil merebut Mandala darinya.
Tuhan, kenapa harus sekarang? Aku tidak siap. Juga tidak pernah siap bertemu dengannya.
Tepat saat mobil Mandala memasuki lahan parkir rumah sakit, air mata Nanda jatuh. Sesak mendera hatinya. Tapi dia dengan cepat mengusap air matanya, menyembunyikan kesedihannya agar tak mengecewakan Mandala.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
ChickLitDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...