Matanya tak mampu berpaling dari objek indah yang sejak tadi menyita perhatiannya. Gaun putih dengan hiasan berlian di bagian pundak hingga dadanya terlihat begitu menawan. Jujur, Hera langsung jatuh cinta pada gaun pengantinnya. Bibirnya tanpa sadar tersenyum, senyum yang selama beberapa minggu lalu sempat hilang.
"Ini gaun pilihan Mandala, lho. Dia setiap hari minta Tante membuat gaun untuk calon istrinya. Gimana, kamu suka, kan?" Tante Tina, adik dari ayahnya Mandala yang dipilih langsung oleh Mandala untuk menjadi perancang busana pernikahannya dan Hera.
Senyum di bibir Hera lenyap seketika. Gendang telinganya menangkap nama yang beberapa minggu ini membuatnya tinggal dalam kegelapan. Mandala yang manis, yang romantis, telah menjadi dingin. Pria itu bahkan tidak peduli apa pun yang Hera katakan. Mandala memutuskan semuanya sendiri. Setelah kembalinya mereka dari Turi, besoknya Mandala membawa keluarganya untuk melamar Hera secara resmi. Tidak ada penolakan. Kalaupun Hera menolak, Mandala pasti akan melakukan segala cara untuk membuat Hera menerima lamarannya.
"Sayang, kenapa menangis?" Ningrum dan Indira menghampiri Hera, mengusap bahu wanita yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya.
"Pasti dia bahagia, Rum. Sebentar lagi dia akan menjadi istrinya Mandala Garda Mahesa. Pebisnis muda yang sedang naik daun. Aduh, aku jadi nggak sabar melihat mereka bersanding di pelaminan nanti," ujar Tante Tina. Kedua matanya memancarkan kebahagian yang tulus. Sayang sekali, Hera justru merasakan sebaliknya. Dia takut dengan Mandala yang sekarang. Pria itu tampak dingin, bicaranya pun tidak semanis dulu. Hera merawan memikirkan bagaimana nanti pernikahannya dan Mandala. Bisakah semuanya berjalan baik-baik saja?
Ningrum tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Ibunya Mandala itu bahkan sampai meneteskan air mata membayangkan bahwa Hera akan segera menjadi menantunya. Entah mengapa dia sangat menyayangi Hera. Bukan karena Hera berasal dari keluarga terpandang, tetapi karena sikap dan pembawaan Hera yang sangat lemah lembut serta tutur katanya yang halus membuat Ningrum sangat menyayanginya.
Hera terkejut melihat tante Ningrum menangis. Dengan cepat diusapnya air mata calon mertuanya. "Kenapa Bunda menangis?" tanya Hera. Ningrum mengulas senyum tipis, mendengar Hera memanggil bunda seperti keinginannya saat Mandala melamar Hera, semakin deras lah air matanya.
"Bunda senang, Her. Bunda bahagia. Kamu sebentar lagi jadi menantu Bunda. Jadi istrinya Mandala," ujar Ningrum di sela-sela air matanya yang mengalir. Hera adalah menantu idaman para ibu. Dia nyaris sempurna.
Ya Tuhan! Sesuatu di balik dadanya semakin terasa sakit, Hera tidak menyangka tante Nigrum begitu menyayanginya. Bahkan sudah meminta Hera memanggilnya Bunda sebelum resmi menjadi menantu di keluarga Mahesa. Untuk itu, dia rela harus tersakiti oleh sosok Mandala yang sekarang. Hera tidak masalah, dia yakin cintanya pada Mandala mampu membuatnya bertahan. Lagi pula, hari-hari kelabu seperti sekarang akan segera berakhir. Pelangi pasti akan datang, setelah badai.
"Udah. Acara nangisnya di tunda dulu. Hera, sekarang kamu coba gaunnya, ya?" Tante Tina menarik Hera dari kedua wanita setengah baya yang mengurungnya. "Tante, camer sama Mamamu mau lihat seberapa indahnya gaun ini di tubuhmu." Hera mengangguk, dengan langkah pasti dia menghampiri gaun putih gading yang dibawakan oleh dua orang wanita cantik. Mata Hera memanas, gaun ini terlalu indah. Mandala benar-benar membuatnya menjadi ratu di pernikahan mereka.
"Kamu akan menjadi Ratu di pernikahan kita, Her. Aku akan memberikan pernikahan terbaik dan terindah yang nggak akan pernah kamu lupakan." Kalimat Mandala waktu itu masih melekat kuat di ingatan Hera. Pria yang saat ini sudah segersang gurun pasir itu menepati janjinya.
"Ayo, Mbak. Ikut kami ke ruang ganti." Hera mengikuti kedua wanita cantik itu dari belakang. Melihat mereka membawa gaunnya dengan sangat hati-hati, Hera hanya bisa menarik napas dalam-dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
Literatura FemininaDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...