Simulakra ||Realitas Semu||

90 12 6
                                    


"Kabar kamu gimana? Sehat, kan?" Nanda menerawang, secara fisik dia sehat. Tapi tidak dengan batinnya.

"Sehat, Ma. Mama sama Papa gimana? Sehat juga, kan?" tanya Nanda balik.

Jauh dari orang tua membuatnya selalu berpikiran buruk. Kadang Nanda takut akan keadaan papa dan mamanya. Padahal, di sana kedua orang tuanya sangat terjamin dalam segala hal. Tapi tetap saja sebagai anak dia merasa khawatir setiap kali papa dan mamanya tidak mengabarinya.

"Sehat Sayang. Di sini lagi musim salju. Papa sama Mama jadi pengen kamu ke Jepang. Kita bisa lihat salju bareng-bareng kayak waktu itu."

Ada rasa rindu yang merayap di hati Nanda kala mendengar harapan Mamanya.

"Nanda, Mandala sering ke rumah, kan? Dia sering ngajak kamu ngobrol? Mama sama Papa udah minta tolong ke dia buat selalu jagain kamu dan bantuin kamu," ucap Anisa.

Dia dan Rafka sering berkomunikasi dengan Mandala, meminta Mandala untuk selalu memperhatikan keadaan sang putri. Mandala adalah sosok yang selalu diharapkan oleh Anisa dan Rafka untuk menjaga Nanda saat mereka jauh. Sekalipun di rumah sudah ada asisten rumah tangga mereka yang selalu ada untuk menjaga Nanda.

Nanda menggigit bibirnya menahan suara tangis yang memberontak ketika Mamanya menanyakan tentang Mandala. Ternyata bukan hanya dia yang menggantungkan harap pada Mandala, ternyata kedua orang tuanya pun demikian.

"Mandala sering ke rumah, Ma. Dia juga sering ngajak ngobrol Nanda. Kemarin kita habis sepedaan berdua di Alun-Alun Utara. Mama sama Papa nggak usah khawatir."

Bohong.

Nyatanya Mandala tidak selalu ada untuknya. Pria itu bukan hanya mengingkari janjinya pada Nanda, tapi juga janji pada kedua orang tua Nanda. Sepertinya Mandala mulai meninggalkan Nanda secara pelan-pelan.

"Syukurlah kalau gitu. Soalnya Mama sama Papa hanya percaya sama dia. Cuma Mandala yang bisa Mama dan Papa andalkan untuk menjaga kamu, Sayang," tutur Anisa sambil tersenyum di seberang telepon. Sepertinya dia dan sang suami bisa lebih tenang saat tahu putri mereka berada pada orang yang tepat. Sedari dulu Mandala memang selalu bisa diandalkan untuk menjaga Nanda.

"Nanti kamu sampein salam Mama sama Papa ke Tante Ningrum dan Om Arya, ya? Mama udah kangen banget sama Tante Ningrum. Oh, iya, Miranti sehat, kan? Dia apa kabar?"

Pertanyaan beruntun tentang keluarga Mandala mau tidak mau sedikit menggeser pikiran Nanda dari Mandala. Setidaknya dia bisa memikirkan hal lain selain Mandala. Meski ini masih tentang bagian dari Mandala.

"Iya Ma, nanti Nanda sampein salam Mama ke Tante Ningrum dan Om Arya. Miranti baik. Dia udah tambah cantik sekarang," balas Nanda. Senyum sedih yang menghiasi bibirnya perlahan mundur.

"Oh, iya, Ma, Papa masih di kantor?" Kali ini giliran Nanda menanyakan Papanya yang sejak tadi tak terdengar suaranya. 

Anisa berdeham pelan, "Iya, Papa masih di kantor. Kamu kangen, ya, sama Papa?" Tanpa dilihat sang ibu Nanda menganggukan kepalanya. 

"Iya, Ma. Nanda kangen banget sama Papa. Setiap telepon pasti Papa selalu nggak ada. Emang  Papa lagi sibuk banget ya, sampai-sampai nggak bisa diganggu? Nanda coba telepon ke ponsel Papa juga nggak diangkat," jelas Nanda.

"Kamu kayak nggak tahu Papa kamu aja. Dia kalau udah kerja nggak bakalan ada waktu buat yang lain. Nanti Mama bilang ke Papa buat telepon kamu balik. Emang orang tua itu selalu lupa waktu kalau sudah kerja," ujar Anisa dengan suara yang menggebu-gebu. Sementara Nanda justru tersenyum tipis mendengar keluhan mamanya tentang sang ayah. Memang kalau menyangkut pekerjaan papanya selalu totalitas. 

"Sayang, udah dulu ya. Mama mau masak ni. Kamu di sana jangan begadang. Jangan suka jajan makanan di luar. Terus satu lagi, kamu nggak boleh keseringan mandi malam. Mama nggak mau kamu sakit," ujar Anisa dengan penuh perhatian. Setiap mengingat kebiasaan putrinya yang tidak baik dia selalu takut kesehatan Nanda akan terganggu. 

Dalam diamnya Nanda merenungkan semua ucapan mamanya. Merekam dengan baik petuah sang mama di dalam kepalanya. Dia memang harus menjaga kesehatannya agar kedua orang tuanya tidak khawatir.

"Nanda, kamu dengar Mama, kan?"

"Nanda dengar, Ma. Sekarang kebiasan mandi malam dan begadang udah Nanda kurang--"

"Bukan kurangin, Sayang. Tapi dihentiin. Mama nggak mau kamu sakit," potong Anisa cepat. 

Nanda menarik napas dalam-dalam, selalu saja Mamanya memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadapnya. Padahal, dia bukan anak kecil lagi. Dia sudah tahu apa yang dia lakukan, baik atau buruk.

"Iya, Mama sayang," balas Nanda lembut. Dia harus melunak agar masalah ini cepat selesai.

Anisa di seberang sana terdengar menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya lagi. "Ya udah, Mama tutup dulu. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, Ma."

Nanda memandang ponselnya, melihat durasi teleponnya bersama mamanya yang memakan waktu lebih dari dua jam. Benar-benar pembicaraan yang panjang. Nanda mendekati meja belajarnya, meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya tidak sengaja melihat note kecil yang terselip di buku catatannya. Begitu Nanda mengambil buku catatannya dan membaca note kecil itu, Nanda langsung menepuk jidatnya. Dia lupa kalau hari ini dia belum memeriksa pekerjaan rumah murid-muridnya.

"Aku masih muda tapi udah mau pikun aja, hadeh," keluh Nanda.

Dengan segera dia mengambil tas kerjanya dan mengeluarkan beberapa tumpukan buku. Sebelum memeriksa hasil pekerjaan murid-muridnya terlebih dahulu Nanda menghitung jumlah bukunya. Begitu selesai menghitung jumlah bukunya Nanda menyusun dengan rapi di atas meja belajarnya.

"Harus ada cemilan nih, buat nemenin lembur." Kebiasaan mengemil sambil mengerjakan tugas adalah hal yang menambah semangat Nanda.

Langkah kaki Nanda menuruni tangga dengan hati-hati mengingat tangga baru saja dipel oleh asisten rumah tangganya. Begitu sampai di anak tangga terakhir Nanda tidak sengaja mendengar Bi Mina dan Pak Jali berbicara. Sepertinya sangat serius sampai-sampai kedua orang tua itu berbisik-bisik. Karena penasaran akhirnya Nanda menghampiri keduanya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti begitu telinganya menangkap nama Mandala disebut.

"Tadi, kan, Ibu beli tepung di warung Ibu Jubeda. Terus Ibu ketemu sama Ibu Ningrum, beliau juga belanja bahan-bahan buat bikin kue. Pas ditanya sama Ibu Jubeda mau bikin kue buat siapa, katanya Ibu Ningrum mau bikin kue buat calon besannya yang sakit. Emangnya Mas Mandala udah punya calon istri, ya? Kok, Ibu nggak pernah lihat. Ibu pikir Mas Mandala itu pacaran sama Mbak Nanda. Lihat sendiri mereka dari dulu lengket kayak semut sama gula. Di mana Mbak Nanda disitu ada Mas Manda," tutur Bi Mina. Dia bercerita dengan semangat 45, mengutarakan semua yang dia dengar dan lihat dengan jelas. Di sampingnya sang suami hanya menggeleng-geleng mendengar hasil observasi sang istri.

"Bu, Bapak mau kasih saran, ni. Cerita kayak gini jangan diceritain ke Mbak Nanda. Bukan apa-apa, kita nggak pernah tahu di antara mereka ada hubungan yang lebih atau nggak. Bapak hanya takut hal ini nanti akan mempengaruhi hubungan mereka. Mereka sudah dekat dan bersahabat dari mereka kecil. Jadi, Bapak minta Ibu cuma cerita ini ke Bapak aja," ujar Pak Jali bijak. 

"Iya Pak, Ibu juga tahu. Tapi Ibu sebenarnya nggak rela kalau sampe Mas Mandala jadi sama wanita lain. Ibu harap Mas Mandala bisa sama Mbak Nanda. Mereka berdua itu cocok banget. Kalau kata anak muda zaman sekarang itu couple goals." Semangat yang tadi membara di kedua mata Bi Nina perlahan mulai meredup, sepertinya dia merasa sedih atas nasib majikan mudanya.

Tanpa sepengetahuan Bi Mina dan Pak Jali, Nanda mendengarkan semuanya. Tubuhnya bersandar di dinding, berusaha kuat mendengar kenyataan menyakitkan yang lagi-lagi berhasil membuatnya kalah telak dalam berharap pada cinta seorang Mandala. Rasanya Nanda ingin melaung mengeluarkan semua kesakitannya. 

"Mandala, kenapa kamu sangat jauh untuk aku raih?" bisik Nanda. Lagi-lagi dia harus ditampar kenyataan menyakitkan.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang