Elegi || Syair dukacita||

73 14 6
                                    

Sejak dulu Nanda selalu mengandalkan Mandala dalam setiap urusan. Seolah Mandala adalah kaki dan tangannya. Dan, si sulung Mahesa itu tidak keberatan sama sekali.

Seulas senyum manis dan pipi merona yang terpatri di wajah Nanda tidak luntur. Bangun tidur, mandi, dan sarapan pagi ini wajahnya tampak sangat berseri-seri. Bi Mina dan pak Jali yang melihatnya hanya bisa mengerutkan dahi. Sedikit bingung, tetapi keduanya memilih untuk tidak menanyakannya.

Nanda duduk tenang sambil menikmati sarapannya. Bi Mina dan pak Jali saling lirik, lalu tersenyum kecil karena ikut bahagia. Ya, walau mereka sendiri tidak tahu ada hal membahagiakan apa yang sedang dirasakan Nanda.

Penampilan Nanda tampak berbeda dari biasanya. Bukan, bukan dia tidak pernah tampil cantik. Namun kali ini dia benar-benar sangat mempesona. Rona merah yang menghiasi kedua pipinya menjadikannya semakin menawan. Pesan Mandala yang mengatakan akan menjemputnya saat makan siang membuat hatinya seperti taman bunga. Ah, Nanda tidak sabar menunggu jam makan siang.

Setelah selesai sarapan Nanda langsung berpamitan pada bi Mina dan pak Jali untuk berangkat. Mobilnya sudah keluar dari garasi, dan sudah dipanaskan oleh pak Jali. Jadi Nanda tidak perlu repot-repot lagi. Nanda masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesinnya sambil menunggu pak jali membukakan pintu gerbang.

"Pak Jali, Nanda berangkat dulu, ya," pamit Nanda.

"Hati-hati Non," balas pak Jali. Pria paruh baya itu menatap mobil sang majikan yang mulai meninggalkan halaman rumahnya. Mobil Nanda melaju dengan pelan begitu dia melewati rumah Mandala. Tepat di depan pagar rumah Mandala, Nanda bertemu dengan tante Ningrum. Sontak saja Nanda menghentikan mobilnya untuk menyapa nyonya Mahesa.

"Tante," panggil Nanda dengan senyum manis yang menghiasi bibir tipisnya. Ah, hari ini Nanda banyak sekali tersenyum. Ningrum membalas senyum ramah Nanda. Si nyonya Mahesa mendekati mobil Nanda yang berhenti di depan rumahnya. Nanda memilih untuk turun, tidak mungkin dia berbicara dengan tante Ningrum dari dalam mobil. Itu terkesan tidak sopan.

"Sudah mau berangkat?" tanya Ningrum matanya memperhatikan penampilan sahabat putranya yang sudah rapi. Nanda mengangguk dengan sopan.

"Iya Tante. Tante tadi habis nganterin Miranti?"

Ningrum menggeleng. "Nggak, Tante tadi habis jalan-jalan kecil. Lumayan, udara pagi kayak gini bagus buat kesehatan."

"Iya Tante. Oh iya, kemarin Nanda sempat teleponan sama Mama. Kata Mama titip salam buat Tante Ningrum sama Om Arya. Katanya sudah kangen banget pengen ketemu Tante," jelas Nanda. Akhirnya dia bisa menyampaikan salam mamanya untuk mamanya Mandala. Nanda juga sebenarnya rindu untuk bercakap-cakap dengan tante Ningrum. Wanita paruh baya di hadapannya ini sudah Nanda anggap seperti mamanya sendiri.

Wajah Ningrum semakin berseri-seri mendengar salam dari sahabatnya yang sudah cukup lama tidak berjumpa. Anisa memang selalu setia menemani sang suami ke mana pun Rafka pergi bertugas. Keduanya bahkan harus meninggalkan sang buah hati. Ningrum menatap wajah Nanda dengan teliti, ada banyak perubahan padanya. Nanda semakin cantik, dewasa, dan bersinar dengan pakaiannya saat ini.

"Sampein salam Tante juga, ya. Tante juga kangen banget sama Mamamu. Kangen masak bareng-bareng. Kangen merajut bareng," ungkap Ningrum. Mendengar ucapan tante Ningrum, seketika rasa rindu kepada orang tuanya hadir di hati Nada. Wajah yang semula dihiasi senyum manis kini tergantikan dengan senyum sendu. Ningrum menyadari itu. Dengan lembut dia merangkul bahu Nanda, mengusap dengan lembut untuk menguatkannya.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang