22 Desember
"BERBARIS!"
Satu kata, mengusik telinga!
Aku meringis saat mendapati gerbang utama sudah dikawal oleh dua guru kedisiplinan dan beberapa pengurus osis yang turut berdiri di depan. Dengan malas aku masuk ke barisan, mengantri hingga saatnya dapat bagian wawancara dengan sederet pertanyaan klise seperti 'mengapa terlambat? Periksa kelengkapanmu!' dan sebagainya.
Kabar baiknya kami yang terlambat juga berjemur selama mengantri. Proses wawancara tidak secepat jatuh cinta pandangan pertama. Kau kadang perlu menceritakan peristiwa sejarah—sebagai hukuman, push up, sit up, squat jump atau gilanya menjelaskan pelajaran sastra indonesia bab tinggi yang bahkan belum kau pelajari.
"Kalian pikir orang tidak disiplin seperti kalian akan sukses?!" teriak salah satu anggota osis.
Hal yang tak pernah lupa terlontar dari senior—kalimat yang sama sekali tidak memotivasi. Sebuah cara halus menghakimi jiwa anak-anak yang gagal. Dengan membuat sebuah pernyataan tidak berperasaan. Terjebak dengan pemikiran bahwa sukses itu punya standar.
Lalu untuk apa berinovasi jika kau hanya perlu mengikuti standar yang ada?
Aku bersuara karena aku sadar aku bukan anak pintar yang mengikuti sistem pendidikan di sekolah. Mungkin semua orang sepertiku juga berpikir demikian, merasa dihakimi meski senior sok tahu itu tidak memiliki hak untuk menentukan masa depan kami.
Pandanganku berhenti saat ada sesuatu janggal di barisan paling ujung. Seorang lelaki—yang kupikir aku mengenalnya— tengah push up di depan barisan dan tidak ada yang salah dengan itu, aku tahu push up masuk salah satu jenis hukuman tapi sejak kapan mereka mengotori seragam dengan menginjak punggungnya? Apa itu push up yang dimodifikasi? Dan kenapa orang di belakangnya tidak menegur? Atau melapor pada guru kedisiplinan? Hey ini pembullyan!
Aku tidak tahu apakah itu suara-suara bisu yang tertahan di udara, atau hanya memang tidak ada yang menaruh peduli pada lelaki malang itu? Apa mengharapkan keadilan sesulit itu?
"Tidak-tidak, jangan coba menegur. Tidak perlu sok peduli," seseorang menahan lenganku saat aku hendak keluar barisan—dan dia berpikir tepat sasaran bahwa aku berencana menegur senior itu.
"Gila?"
"Kau pasti kelas satu ya?"
Dia benar lagi, mungkin dia memiliki kemampuan membaca pikiran.
"Ya."
"Pantas saja kau tidak tahu. Senior itu galak! Lagian dia Juno Fauzan, siswa anti sosial yang sudah biasa dibully!"
Biasa dibully? BIASA DIBULLY?
"Sekolah ini konyol!" decihku, melepas tautan lengannya dan segera beranjak dari posisi.
"HEY!"
Aku bukannya sok berani, jika melawan senior tinggi itu aku tidak sebanding, aku siapa? hanya gadis biasa yang tidak punya dasar bela diri. Aku hanya merasa sadar—sepenuhnya bahwa dunia sudah cukup kejam untuk pura-pura tidak melihat seseorang yang tengah mengulurkan tangannya meminta tolong.
Sontak semua atensi tertuju padaku. Aku mendadak kaku, melirik sekitar, dan menelan ludah kasar. Tanganku bergemetar mencoba menunjuk—tepat pada lelaki dengan seragam kotornya. "K-kau yang mencuri ponselku kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Novela JuvenilSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...