28 Desember
Pagi cerahku dihantui tatapan lelaki payung merah di halte bus kemarin sore. Bukan, bukan hanya pagi ini justru sejak malam aku dihantui oleh tatapan misterius itu. Sungguh apa yang dia minta dariku? Aku tak merasa punya apa-apa untuk diberikan dan aku juga merasa terbebani karena tak pernah mengerti maksud dari semuanya.
"Ivy!"
"Oh, Luna? Hai?" sapaku penuh tanda tanya.
"Maaf soal kemarin," perasaanku tidak salah karena aku tahu sapaanya hanya mengundang tanda tanya.
"Soal?"
"Aku piket jadwal kemarin jadi seharusnya aku yang membereskan buku perpustakaan."
Oh astaga, kenapa dia terlampau baik? Maksudku ayolah, aku menerimanya memang karena sebuah hukuman, kenapa dia yang merasa terbebani?
"Astaga Bianca Luna!" aku mengeja namanya secara lengkap karena benar-benar merasa gemas.
"Kapan jadwal piketmu?"
"Sabtu ini."
"Biar aku yang membereskan perpus nanti."
Dengan senang hati.
Aku tidak bermaksud merendahkan diri tapi kami terlihat seperti bawang merah dan bawang putih dalam sinetron yang kutonton saat aku smp. Iya, aku si bawang merah yang dengan senang hati membagi beban hidup pada manusia polos yang tidak bersalah. Dan Luna? Sebenarnya aku cukup peduli, dan bisa saja aku bilang 'tidak perlu, itu akan sangat membebani', tapi hey! Kenyataannya aku senang dan ini kesempatan emas.
"Kau serius? Maksudku, tidak perlu—tapi dengan senang hati," Luna tertawa tapi kemudian dia mengangguk setuju dan aku sangat berterimakasih akan itu. Dia benar-benar rajin sekaligus polos, maksudku dia bisa mengerjakan tugas lain seperti belajar di perpus tanpa harus lelah-lelah melakukan tugasnya. Astaga, Luna yang baik. Dia masuk kategori teman terbaik dalam list pertemananku, mungkin mengalahkan Sheza.
Luna berlalu pergi, menuju kelas dengan sebuah kesepakatan bersama yang didiskusikan secara singkat, 5 menit!
Saat perjalanan menuju kelas mataku menangkap sosok familiar di ujung sana—tepatnya di koridor tempat puluhan loker berjejer rapi, dia si lelaki payung merah—maksudku Juno, karena secara teknis kami resmi berkenalan jadi kupikir tidak etis memanggilnya lelaki si payung merah. Juno tengah membaca sesuatu dalam lokernya, aku tidak bisa melihat jelas tapi yang pasti dia menggenggam secarik kertas berwarna kuning yang bisa dikatakan jauh dengan lembar materi. Entah sebuah brosur, catatan penting, atau mungkin surat cinta? Aku tidak berasumsi secara sembarangan okey, karena aku melihat persis bibirnya tengah tersenyum lebar saat membaca kertas itu.
Aku menepuk pipi agak keras. Kenapa aku jadi memikirkan urusan Juno sedang membaca apa? Ya aku memang sedikit tertarik dengan sosok lelaki itu karena tanda tanya besar di kepalaku belum terpecahkan tentang sorot mata misterius itu, tapi maksudku kenapa aku harus bertindak jauh hingga menebak-nebak apa yang dia baca.
Akhirnya aku melanjutkan langkah menuju kelas, melewatinya yang masih fokus di loker dan berencana untuk pura-pura tidak lihat karena aku malas menyapanya. Sekian meter terpisah dari tempatnya tiba-tiba aku berhenti. Sebuah dentuman keras menghentikkanku. Aku sontak berbalik, terkejut mendapati dua orang sudah terjatuh di lantai—seperti menabrak satu sama lain.
Juno? Dan entah siapa aku tak mengenali. Aku menatap lebih seksama untuk memastikkan bahwa lelaki yang terjatuh itu benar Juno, lelaki yang beberapa menit lalu kutemukan masih berdiri kokoh di depan lokernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...