"HAH, JUNO? SIAPA ITU JUNO FAUZAN?"
Bugh!
Satu buah buku tipis mendarat sempurna di atas kepala Sheza. Ia meringis, mengusap atas kepalanya dan menatapku sengit dengan berbagai umpatan kesal yang ditunjukkan lewat sorot mata itu. Oke tidak peduli. Salahkan dia yang tak bisa mengunci mulutnya, bagaimana jika orang tuaku mendengar dan besoknya aku diinterogasi siapa itu Juno.
"Oh, jadi dia lelaki yang kau tanya tempo lalu saat permainan basket di aula?" aku mengangguk, dan disitulah Sheza baru ingat bagaimana penampakkan wajah Juno, karena sebelumnya sekeras apapun aku mendeskripsikannya otaknya tidak sampai.
"Tunggu, lamunanmu seminggu terakhir itu? Jadi kau melamun bukan memikirkan hutang negara, tapi lelaki ini?" ucapnya terkejut—hampir tertawa lepas. Aku tak bisa apa-apa selain menatapnya jijik, dia seperti sedang mengejekku bawha lamunan serius itu ternyata hanya pikiran liar tentang lelaki. Dia membuatku terlihat seperti seseorang yang gila dengan lelaki
Maksudku, memang benar aku banyak memikirkan laki-laki. Tapi lamunan tempo lalu adalah kebingunganku tentang bagaimana hidup Juno bisa semalang itu. Bukan hal-hal kotor tentang lelaki.
"Kau benar-benar jatuh cinta ternyata."
"Okey, dengar. Aku tidak berencana begitu, maksudku kau tahu. Kak Azel sudah cukup untukku. Tapi dia terlalu tampan, dan misterius," jawabku mengelak. Entahlah, dari awal aku sudah mengagumi wajahnya yang bisa dibilang kategori tampan. Dan lagi kehidupannya yang misterius, juga beberapa potongan cerita yang aku tahu—seperti dia dibully. Tidakkah itu membuat siapapun ingin memberinya sesuatu yang lebih baik?
Sheza hanya tertawa menggoda menatapku. Okey, dia mungkin ingin memperjelas bahwa teorinya soal jatuh cinta itu benar. Astaga aku malu karena jatuh cinta terlalu cepat tepat setelah Sheza berdongeng tentang itu.
"Kau jatuh cinta semudah itu? Sungguh, kau murahan sekali."
Kurang ajar.
"Jadi ini surat yang kau curi?" tanya Sheza mengalihkan topik dan meraih surat kuning yang beberapa menit lalu aku ceritakan.
"Lancang sekali!"
"Tapi kau mencuri kan?"
"Aku bisa menjelaskan, ini sebenarnya terpampang jelas di sisi tasnya, dan kau tahu kan warnanya sangat mencolok tentu saja aku penasaran!"
"Tidak jadi alasan untuk kau menormalkan tindakan tersebut."
Aku meringis, lihatlah dia selalu membantahku. Tapi memang aku mencuri, sih.
Sheza terhitung sering menginap di rumahku, minggu-minggu sibuk bagi ayahnya gadis itu pasti selalu datang kesini dan mengemis tempat untuk tidur dengan alasan payah—seperti takut hantu atau pembunuh dan lainnya. Awalnya aku tidak masalah, tapi seiring berjalannya waktu dia sangat tidak santun kepada tuan rumah dan tak ada kata damai saat dia menginap di kamarku. Sheza bukan anak tunggal, tapi kedua kakak laki-lakinya tidak di rumah, satunya sudah menikah dan kakak keduanya sedang menempuh pendidikan universitas dan merantau, tinggal dia seorang yang berada di rumah itu saat ayahnya sibuk bekerja. Ibunya? Sheza sudah kehilangan ibu sejak kelas 6 SD. Aku memanggilnya Bibi Tere—Theresia namanya. Dan menurutku itu adalah bahasan yang sensitif bagi Sheza jadi aku pribadi tak pernah menyinggung apapun soal keluarganya Sheza khususnya tentang Bibi Tere.
"Jadi apa di surat itu?" Sheza merebut surat yang ada di tanganku lalu membukanya dengan kasar. Aku menunggu dia selesai membaca untuk kembali mengeluh soal bagaimana aku bisa begitu bodohnya jatuh dengan mudah.
"Oh, hanya ini? Lalu kenapa?" kenapa dia menjawab dengan enteng sekali? Ini menyangkut hati!
"Kau tahu kan aku tidak bermaksud jahat, tapi kupikir dia adalah cara terbaik untuk bisa melupakan Kak Azel," ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...