BRUKKK!!
"AW!"
Juno sontak berbalik ke belakang, mendapatiku ambruk ke bawah dengan posisi telungkup. Sadar bahwa ternyata tali sepatuku lepas dan terinjak membuat aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Juno buru-buru mengangkatku dengan pandangan yang memutar memeriksa apa terdapat luka disana. Kami terduduk ditrotoar sementara, menunggu Juno selesai mengkhawatirkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan.
"Kau terluka?" aku ingin berkata baik-baik saja agar semuanya berakhir dan tidak ada drama yang rumit. Tapi aku tak bisa bersuara mewakili pergelangan kakiku yang sepertinya mengeluh minta rehat.
"Aku baik-baik saja."
"Kau bisa jalan?"
"Biar aku coba!" aku mencoba berdiri berpegangan erat pada tangan Juno, lelaki itu juga berusaha, tapi sayangnya tak berhasil. Bagian tubuh satu ini memang pemberontak. Sialan ini juga sakit! Juno kembali berjongkok, dengan segaris kerutan di dahinya, entah spekulasi apa yang sedang bersemayam di kepalanya.
Hal yang kupikirkan saat ini, mungkin Juno terbebani karena harus menggendongku atau setidaknya menuntunku beratus-ratus kilometer menuju halte bus dan berpuluh-puluh kilometer dari halte bus ke rumahku.. Maksudku, aku tidak naïf bahwa aku senang dan itu kesempatan bagus jika Juno memang menawarkan tapi apa aku serendah itu? Membebani orang lain karena kecerobohan sendiri?
Tapi kupikir aku bisa pulang sendiri, aku bisa minta Juno untuk mengantar sampai halte bus. Aku sudah banyak membebani Juno jadi kupikir, hanya itu yang bisa aku minta.
"Bisakah kau antar hingga halte—"
"Naik," aku terkejut saat Juno tahu-tahu sudah jongkok dengan posisi badan memunggungiku—menawarkan gendongan.
"Kau bercanda?" Aku ingin menolak, yang artinya sama dengan aku semakin melukai pergelangan kakiku jika memaksakan jalan bermeter-meter. Tapi jika tidak terdengar seperti melukai egoku sendiri..
"Tidak perlu."
"Tidak apa, cepat naik."
"Hey tidak perlu, tuntun saja aku—"
"Kubilang naik ya naik!" keliru jika Juno tidak marah. Itu intonasi yang jelas menunjukkan seseorang risih. Tutup mulut dan menuruti Juno adalah pilihan tepat untuk mecegah sesuatu yang berpotensi membuatnya makin naik pitam, akhirnya dengan perasaan bersalah menyelimuti aku naik ke punggungnya, melingkarkan tangan sekitar leher dan berharap Juno tidak encok keesokan harinya.
"Maaf aku jadi merepotkanmu."
"Tidak apa-apa," hampa, sebuah jawaban yang terasa hampa. Persis seperti Juno yang aku temui di atap pertama kali.
Hening mengudara, disertai angin dingin menghilir lembut. Juno berjalan tanpa suara, dan aku memutuskan melakukan hal yang sama. Meski sebenarnya banyak pertanyaan seperti apa aku berat? Apa pinggangmu encok? Apa besok kau akan tetap sekolah? Dan pertanyaan lain yang sebenarnya tidak berguna.
Kami tiba di halte bus, Juno mendudukkanku di kursi halte sementara ia memilih berjongkok agar memiliki alasan lain kenapa ia harus jengkel padaku. Maksudku, dia jengkel karena aku membebaninya tapi memilih terus dibebani?
"Tidak usah, aku baik-baik saja."
"Kau tidak baik-baik saja, Ivy," Juno merespon tanpa mengalihkan pandangan, dingin sekali. Aku mencoba tidak peduli tapi sunguh sikapnya mengusik pikiranku. Kenapa kecelakaan itu kesalahanku? Aku memang lengah soal tali sepatu itu tapi apa aku yang menginginkan itu terjadi? Merencanakan sedemikian rupa skenario hanya untuk membuat Juno terbebani? Kenapa ia merasa berhak bersikap seperti itu? Tidakkah ia sadar itu menyiksaku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...