Tepat setelah aku mendengar ketukan sepatu itu menjauh, senyumku perlahan memudar. Tiba-tiba saja perasaan hampa menyelimuti tanpa sebab, membuatku terpaku di sudut ruangan dan tidak berencana untuk buru-buru ke kelas meski bel masuk sudah berbunyi beberapa menit lalu.
Apa ini benar? Apa yang kulakukan benar? Kenapa aku justru merasa gelisah? Kenapa aku merasa bahwa setelah ini hidupku mungkin tak akan tenang? Sepengecut itukah aku? Dengan belagunya aku tersenyum puas di hadapan Kate barusan tapi sekarang aku merasa resah?
Aku mengusap wajahku frustasi dan menyadari setetes cairan bening membasahi pipiku. Tunggu, a-aku menangis? Sejak kapan dan kenapa tiba-tiba? Tidak, aku tidak boleh menangis. Tak ada gunanya menangis sekarang, itu hanya akan membuatku terlihat lemah. Dengan tak sabaran aku mengusap wajahku lagi—agak kasar. Tapi tak peduli seberapa keras aku mencoba menghapus air mataku itu tetap keluar, aku tak bisa menahannya, aku tak bisa menahan cairan ini untuk berhenti mengalir.
Penglihatanku seketika buram dengan cairan yang sudah menumpuk di pelupuk mataku. Menyisakan diriku yang terisak dalam diam, di tengah keheningan ruangan.
Aku sempat mengagumimu, Kate. Aku sempat berpikir kau gadis yang teramat baik sampai aku bingung bagaimana cara membalas jasamu saat itu. Selain hanya bisa berharap kau bahagia dengan seseorang yang selama 3 tahun ini aku sukai. Ya aku memang melirik diam-diam pada Kak Azel saat itu, mengirim coklat di awal-awal kalian berhubungan juga beberapa surat, tapi itu sama sekali sudah kuhentikkan jauh sebelum aku mengenal Juno, sebelum aku memiliki pelarian baru. Aku sudah merelakanmu dengan Kak Azel, aku benar-benar ingin kalian berdua bahagia. Bahkan berpikir untuk mengganggu pun aku tidak sanggup karena kau terlalu baik untukku.
Entah kenapa ada setitik rasa kecewa dalam hatiku. Menyadari sosok yang selama ini aku kagumi, aku hormati tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini. Aku tahu setiap manusia punya kekurangan, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini dan aku paham betul tentang itu tapi kenapa, kenapa dari sekian ribu kekurangan yang bisa aku toleransi harus ini yang ada di balik sisi gelapnya, kenapa harus menjadi pengkhianat dan menyakiti seseorang? Bahkan bukan hanya menyakiti seseorang, tapi orang yang kucintai. Dan otomatis itu menyakitiku, melihat senyum lebarnya saat Juno menatapmu, melihat tawa bahagianya saat ia memegang kedua tanganmu, melihat Juno nyaman saat berada di pelukanmu, yang mati-matian aku tahan rasa sakit itu hanya agar tak merusak kebahagiaannya. Tapi apa? Itu semua palsu?
Setelah beberapa puluh menit termenung memikirkan seberapa banyak kekecewaan yang aku dapatkan—meski itu sebenarnya dilebih-lebihkan—akhirnya aku tersadar. Aku memberanikan diri melangkah mendekati kaca berbentuk persegi yang biasa terpajang di toilet wanita dan terkejut melihat bengkak di mataku yang terlihat persis seperti Kak Lera saat terpukul tongkat baseball sepuluh tahun lalu. Sial bagaimana aku bisa kembali ke kelas dengan keadaan seperti ini? Apa aku bolos jam pelajaran saja? Lagian ini sudah sangat terlambat, aku tak mau ambil risiko dilihat kacau satu kelas sekaligus dilabeli tukang terlambat.
*****
Tadinya aku berencana hanya bolos dua mata pelajaran Sejarah, tapi berakhir ketiduran di pohon besar ini hingga bel pulang berbunyi. Ternyata bersemedi di taman belakang tidak buruk, tentu selain kesan horror dan tempatnya yang sepi aku merasa bisa menenangkan pikiran sembari melihat pelataran hijau yang menyejukkan. Sekaligus bisa membayangkan seolah-olah Juno berada disini. Maksudku, hampir setiap jam makan siang Juno pergi kesini jadi kupikir jejaknya akan tertinggal, entah itu parfumnya yang menempel di batang pohon yang sering Juno sandar atau entah apapun yang mengingatkanku pada Juno.
Ya benar, aku sudah gila, gila karena Juno. Aku tidak tahu kenapa rasanya Juno seperti berlarian di dalam kepalaku hingga tak terhitung sedikitpun aku melupakan soalnya. Aku pernah menyukai Kak Azel selama 3 tahun lamanya dan patah hati dengan kabar Kate itu tapi tak ada fase dimana aku selalu ingat akan Kak Azel sesering ini. Kesimpulannya Kak Azel tidak se-ngangenin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...