"Kau... Berurusan—"
Sreeett!!
Traakk!
Tidak! Ponselku!
"—dengan orang yang salah," Kate membanting ponselku, menginjaknya dengan kuat sampai benda itu pecah tak berbentuk. Aku terkejut bukan main. Dari mana ia bisa tahu bahwa aku sedang merekam? Apa dia semacam cenayang? Maksudku bisa saja kan aku membawa ponsel tidak untuk merekam. Tapi kenapa ia berpikir sangat tepat sasaran? Sial!
Aku menatap ponselku nanar, satu-satunya harapanku dan sekarang sudah lenyap.
"Kau mau merekam semuanya? Menunjukkan pada orang-orang bahwa aku selingkuh? Kau tidak akan bisa! Kau sudah berurusan denganku," dia menginjak lagi ponselku, mempertegas ucapannya. Seolah-olah memperingati aku benar-benar salah cari gara-gara dengannya. Sekilas aku menoleh padanya, menatapnya murka, kesal, jijik, marah dan semuanya.
"Tidak ada yang percaya denganmu karena apa? Aku terlalu baik untuk kau fitnah pengkhianat. Siapa yang mempercayaimu? Juno? Kak Azel? Tidakkan? Bahkan sahabat tololmu itu lebih memihakku daripada temannya sendiri."
Apa dia bilang? Tolol? Okey, aku tidak bohong bahwa aku benci Sheza, gadis itu keterlaluan, tapi aku tidak terima seseorang mengatainya tolol. Seseorang yang Sheza bela mati-matian hingga berani menamparku. Seseorang yang Sheza hormati hingga berani membetakku, dan seseorang itu kini dengan mudahnya mengatai Sheza tolol? Kesabaranku benar-benar habis.
PLAAKK!!
"Tutup mulutmu!" gertakku. Kate memegangi pipinya setelah menerima tamparan itu, ia menatapku tajam, tangannya melayang hendak membalas sebelum aku menyanggah tangannya dan kembali menamparnya lebih keras hingga ia tersungkur ke bawah.
"Aku tidak habis pikir kenapa kau bisa-bisanya mengatai seseorang yang begitu menghormatimu 'tolol'? Berapa banyak orang terdekat yang kau cemooh diam-diam?"
Ia mendecih, menumpu badannya dengan sikut dan menatapku marah. Gadis itu, masih sempat-sempatnya menunjukkan senyum miring ketika sudut bibirnya berdarah. Dan aku benci itu, bagaimana dia tidak merasa bersalah kepada Sheza dan Juno membuat aku ingin menamparnya seribu kali. Atau bahkan rela tanganku pegal jika itu memang untuk menamparnya seribu kali.
Mataku beralih melihat ke arah kanan dimana ponselku tergeletak dan hancur berkeping-keping. Aku tidak yakin orang tuaku tak akan marah tepat setelah mendengar kabar ini. Maksudku, ini baru 8 bulan lalu. Akhirnya dengan berat hati aku berjongkok bermaksud memungut sisa ponsel dengan sedikit harapan ada sisa-sisa yang bisa kuselamatkan. Aku menunduk untuk meraih ponsel itu, tiba-tiba...
SREETTT!!
Aw!
Tiba-tiba aku merasakan pelipisku perih tak tertahan, tanganku perlahan terangkat memeriksa dan menyadari setitik cairan merah segar mengalir. Sontak aku mendongakkan kepala, menatap Kate yang baru kusadari sudah menggenggam satu buah cutter di tangan kanannya.
"Oh, sayang sekali aku meleset. Seharusnya aku mengenai matamu satu," aku melotot sontak menyentuh pelipisku lagi dan benar saja posisi luka ini dekat dengan mata kiriku. Gila? Aku tidak tahu Kate bisa menjadi psikopat seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...