14. Past Never Dies

58 5 0
                                    

Kami sudah berada di bus perjalanan menuju pulang. Juno berada di sampingku menatap kosong ke depan dengan matanya yang sembab. Aku tak berani mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti bagaimana keadaannya atau apa dia sudah merasa baikkan karena itu terlihat jelas dia kacau. Aku mengerti dia butuh waktu sendiri, waktu untuk menenangkan pikirannya dan merelakan rasa kehilangan itu karena kau tahu, dia berhak untuk bahagia, dia berhak hidup bebas tanpa dihantui rasa bersalah terhadap Rico khususnya tuduhan dari Yasmine. Karena sungguh, Yasmine hanya bisa menyalahkan tanpa merasakan bagaimana rasanya berada di posisi Juno.

Kebisuan itu berlangsung hingga bus telah sampai di halte dekat rumahku.

"Juno, a-aku duluan.. terimakasih untuk hari ini," pamitku, jeda sebentar berharap ia bereaksi seperti mengucapkan terimakasih kembali, tersenyum atau sebagainya. Tapi lagi-lagi yang kulihat hanya wajah termenungnya. Tidak tega mengganggu lamunannya aku segera pergi meninggalkan Juno turun dari bus. Sedikit kecewa karena kenyataannya Juno masih mengabaikanku, persis mengingatkanku pada sosok dirinya yang cuek dan dingin saat itu.

Tidak! Berpikir positif, Ivy! Juno hanya sedang kalut kau harus memakluminya! Ia sudah berbaik hati masih menerimamu menjadi temannya meski kau sudah kurang ajar menampar sahabat Juno. Bagaimana bisa kau egois begini?

Itu ucapanku pada diri sendiri, sambil memukul kepala pelan di tengah jalan seperti orang kesetanan—tapi siapa peduli?

"Astaga, Juno?!" sontak aku terkejut saat mendapati Juno sudah berada di belakangku tak lupa dengan tatapan bingung yang ia lempar padaku. Dia tidak akam berpikir aku kesurupan, kan?

"Kau turun disini juga?" tanyaku.

"Tidak, aku hanya akan mengantarmu. Ini sudah mendekati malam," akunya suskes membuatku tersipu. Apa katanya? Mengantarku pulang? Apa dia mengkhawatirkanku? Di saat aku berburuk sangka soal kebisuannya ternyata diam-diam ia bersikap sangat manis padaku.

Aku mengalihkan pandangan menatap jam tangan di lengan kiriku, jam sudah menunjukkan pukul 8. Justru aku lebih khawatir pada Juno karena ini juga sudah terlalu malam untuknya. Aku tahu tak baik bagi wanita untuk jalan sendirian malam-malam tapi, hey, jarak halte dan rumahku cukup dekat. Aku bahkan bisa melihat gang rumahku dari sini.

"Tapi nanti kau pulang bagaimana?"

"Aku bisa naik bus dua kali."

"Kau yakin?"

"Kau tidak suka di antar olehku?"

Astaga, Juno sedang sensitif.

"Bukan begitu, maksudku, kau juga harus cepat pulang. Ini sudah sangat telat."

"Tidak akan ada yang peduli mau aku pulang telat atau tidak," jawabnya tersenyum pahit. Sejenak aku berpikir dia mungkin punya sedikit masalah juga dengan orang tuanya. Tapi entahlah, aku tidak ingin sok tahu.

"Aku peduli."

Juno menatapku, sedikit terkejut.

"Aku peduli apa kau pulang telat atau tidak."

Ia masih betah menatapku ragu—sedikit curiga. Seperti 'apa kau sedang menggombalku?'. Entah berapa menit dia menatapku begitu. Betah sekali dia membuat aku salah tingkah.

"Sungguh!" tambahku meyakinkan wajah ragunya. Tapi Juno menghiraukannya dan mulai berjalan mendahuluiku.

Sial, dia keras kepala juga.

Aku mensejajarkan kakiku dengan langkah lebarnya. Terkadang mencuri-curi pandang menatap Juno yang asik melamun memperhatikan aspal jalanan. Jika dipikir-pikir Juno seperti memiliki dua kepribadian dalam dirinya, yang satu pemalu dan pendiam, sementara yang satu laginya dingin, galak dan keras kepala. Kau tahukan reaksinya pertama kali saat aku dengan sengaja menyeretnya ke ruang konseling, dia berkata dengan dingin bahwa aku tak usah ikut campur urusannya. Kemudian saat ia memergokiku memotret Kak Azel dan Kate di atap gedung, dia cukup galak. Membentakku dan berkata aku gadis tidak sopan—meski kenyatannya memang aku tidak sopan. Tapi dia terlalu lancang!

Second RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang