"Kau tidak pulang?" tanya seorang gadis berambut ikal yang kini berdiri dihadapanku. Ia tengah menggendong tas ransel di punggungnya bersiap untuk pulang ke rumah. Mungkin dia sedang pamer dengan menggandong tas itu sengaja di depanku.
"Tidak," jawabku sambil menghela napas berat. Sesekali aku memandangnya sambil menatap buku yang hendak dikembalikan ke perpustakaan. Tebak apa? Hukuman karena tertidur di kelas selama satu jam pelajaran. Entahlah, mungkin aku memang benar-benar sedang emosional sampai tidur di jam pelajaran setelah acara pertengkaran kecil itu. Oh mungkin bukan bertengkar? Lebih terlihat teguran.
"Kenapa kau lesu begitu? Dan wajahmu, agak bengkak," dia peka dengan cepat, tapi aku sedang tidak ingin peduli apapun.
"Apa karena Azel lagi?"
Sungguh, kenapa dia benar-benar peka dengan cepat?!
"Apa semenyakitkan itu?" aku menatapnya jijik, berani-beraninya dia melempar pertanyaan tidak sopan itu. "Kenapa kau mempertegas?!"
"Maksudku, itu sangat jelas."
Jelas menyedihkan.
Sheza hanya berdecak dan memutar bola mata jengah melihat sikapku. Ya, dia adalah sahabatku sejak kecil. Jadi wajar perilakunya agak kurang ajar. Sudah sering dia menatapku jengkel, berdecak, menegur bahkan memakiku dengan satu alasan yang tak pernah berubah. Benar, tentang Kak Azel. Sudah sejak beberapa bulan ke belakang juga ia mengampanyekan untuk move on dan berhenti menyukai Kak Azel tapi hey! Perasaan tidak bisa dipaksakan. Bisa-bisanya dia nyerocos dengan enteng.
Tapi aku tahu di balik itu tersirat rasa kepedulian karena Sheza sendiri paham menyukai orang populer seperti kak Azel itu sulit dan membebani. Selain saingannya yang banyak tentu saja saingannya juga tak kalah cantik dan pintar. Jadi Sheza cukup rasional dan realistis soal percintaan.
Berbicara sedikit tentangnya, seperti yang aku bilang kami adalah sahabat sejak kecil. Kami memiliki banyak momen berharga yang dihabiskan bersama sehingga kami begitu dekat bahkan menganggap satu sama lain sebagai keluarga. Rumah kami juga cukup berdekatan, itu menjadi alasan kedua kenapa kami selalu terlihat bersama. Sheza sedikit cerewet, tak bisa diam, dan cukup dewasa meski dengan kenyatannya bahwa dia 3 bulan lebih muda dariku. Entah sebuah keajaiban atau apa. Yang pasti terkadang nasihatnya lumayan, terkadang juga menyebalkan.
"Aku tak bisa pulang bersama karena ada kencan dengan kak Daniel, jadi tolong jaga kewarasanmu hingga tiba di rumah."
Sial. Kupikir dia akan pamer pulang ke rumah setelah tahu aku dapat hukuman tambahan. Ternyata pamer pacar baru? Payah.
Dia pergi ke luar kelas tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Aku beralih mencoba tak peduli, aku harus membereskan perpustakaan sekaligus membawa seluruh buku milik perpus di kelas secepatnya—yang seharusnya menjadi tugas orang yang piket hari ini. Seharusnya aku menerima ucapan terimakasih dari Luna. Okey, besok aku akan memaksanya membeli kaleng kopi sebagai ucapan terimakasih.
Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor yang membawaku ke ruang perpustakaan. Sekilas ku lirik arloji hitam milikku, sekarang masih pukul setengah tiga. Kurasa tugas yang terlihat seperti hukuman ini akan selesai sebelum pukul lima.
Aku mulai mengambil alat pendorong—berwujud seperti troli saat kau hendak belanja di supermarket. Bedanya ini hanya tumpukkan buku dan ukurannya pasti lebih kecil. Memang jika berbicara fasilitas sekolahku nomor satu, aku berani tanding dengan sekolah manapun di seluruh kota. Aku menumpahkan seluruh lautan buku di keranjang tersebut, buku milik perpus yang rutin dipinjam siswa setiap pagi saat mereka hendak memulai kelas. Di penghujung jam pelajaran biasanya jadwal piket harian akan membawa seluruh buku untuk dikembalikan lagi ke perpustakaan agar dapat dipinjam oleh siswa kelas lain esok harinya. Tapi kurasa hari ini bukan jadwal piket harian yang melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...