"Jadi berapa lama kau menyukainya?"
"Tiga tahun."
Apa?! Tiga tahun?! Okey, mari kuluruskan, aku memang pernah menyukai seseorang selama itu, dan ya benar itu Kak Azel. Tapi kau tahu, saat kau menyukai seseorang dan ia mengaku bahwa ia pernah menyukai gadis lain selama tiga tahun adalah kenyataan terpahit yang pernah kuterima—selain kabar Kak Azel dan Kate tentunya. Semakin aku tahu lebih jauh soal kehidupan percintaan Juno semakin aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengejarnya. Haruskah aku menyerah? Kembali menunggu Kak Azel dan Kate putus? Tapi akankah mereka putus?
"Menurutmu apa itu cinta sejati?"
"Hmm, cinta sejati ya?" sahutku sekenanya. Sejujurnya tak ada bayangan dalam kepalaku untuk menjawab apa itu cinta sejati, Aku hanya gadis berusia 18 tahun dan dia memintaku berpendapat soal cinta sejati? Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya berpacaran, saling menyukai satu sama lain. Cintaku sepihak bagaimana bisa aku menjawab?
"Apa kau punya cerita tentang cinta sejati juga?"
"Tidak."
Sepertinya mulai ada rasa penyesalan setelah selesai dengan kehidupan cinta Juno. Rasa penasaranku lebih tidak penting dibandingkan perasaanku yang kini terasa campur aduk. Kecewa, marah dan bingung harus bagaimana aku menghadapi lelaki ini kedepannya. Jika saja aku dengan senang hati menutup mulutku mungkin sekarang aku tak usah repot-repot menata hatiku yang kacau. Sudah terlambat, bukan? Sekarang coba jelaskan bagaimana aku bisa tidur nyenyak dengan semua kekhawatiran itu?
"Kita sudah sampai dari tadi," aku tersadar, kembali menaruh atensi pada Juno dan benar-benar sadar ternyata ia sudah menginjak depan rumahku.
"Oh, sudah sampai?"
"Apa kau betah digendonganku?" Juno tertawa renyah. Aku sedang tidak ingin menanggapi leluconnya.
"Berat ya?"
Juno menggeleng, "Terimakasih sudah mau menemaniku ke bioskop dan membelikan baju," jawabnya sambil menarik bajunya secuil jari. Aku tidak menanggapinya—lagi—hanya berharap senyuman tipis yang aku tunjukkan saat ini sedikit terlihat lebih tulus.
Itu perpisahan yang cukup singkat, selain aku yang memang banyak diam daripada menanggapi, ternyata Juno juga memiliki agenda penting jam 10 yang mengharuskannya buru-buru pamit. Mengikuti jejak Juno, setelah menutup pintu depan secara diam-diam aku buru-buru masuk ke kamarku secepat orang pincang bisa lakukan saat berlari.
Aku menyalakan saklar lampu, melihat jelas kamarku yang jauh dari kata rapi membuatku menghela napas lagi dan lagi. Mungkin kalian berasumsi aku berlebihan karena terlalu memikirkan kisah percintaan Juno yang jelas-jelas itu tidak ada urusannya denganku. Ya kuakui aku memang berlebihan, jika dipikir-pikir itu bukan masalah besar, aku bisa saja masa bodo perihal itu dan tetap berusaha mendekati Juno seperti apa yang Sheza tekankan padaku. Tapi kau tahu? Ada hal lain yang menghentikkanku.
Sebelum agenda kencan ini diadakan, aku tak sengaja melihat kertas kuning mencurigakan itu lagi di hari kami pulang bersama. Juno menitipkan tasnya padaku dan izin ke kamar mandi cukup lama membuat aku memiliki akses bebas menggeledah tasnya yang kebetulan sedikit terbuka. Dan ya kalian pasti sudah bisa menebak kejadian selanjutnya. Sebenarnya aku membuat sedikit kemajuan—jika kalian sudi mengakuinya, saat itu aku tak ingin menambah kecurigaan yang akhirnya aku mendapatkan ide untuk memotret lewat ponselku dan mengembalikan surat itu ke tempat asalnya. Memang aku masih kurang ajar tapi setidaknya aku tidak dilabeli pencuri juga.
Dengan sedikit berat hati dan rasa penasaran aku membuka galeri di ponselku dan melihat surat kuning yang sempat ku foto.
Hai Juno, minggu jam 3 sore datang ke cafe dekat sekolah. Aku ingin bertemu di sana dan memberikan jawabanku. Kuharap ini kabar baik untuk kita berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...