"Kau tidak pergi kursus?"
Mahesa menoleh sekilas, mengedikkan bahu tidak peduli lalu kembali menatap ponsel. Dia duduk di barisan paling belakang, terbilang agak jauh bagiku yang biasanya duduk bersampingan dan berdebat soal apapun. Sesaat aku curiga. Mahesa tidak seperti biasanya. Kau tahu, ia adalah tipe orang yang akan memulai pembicaraan, perdebatan, pertengkaran atau keributan jenis apapun di saat suasana hening. Tapi kini ia bisu seribu bahasa.
Dia tidak sedang sariawan kan?
Sebenarnya tugas untuk hari ini sudah selesai. Kami baru saja beres menggambar serangga yang sudah kita teliti kemarin di laboratorium dan menggambarkan struktur tubuhnya di atas karton. Anton cukup realistis, ia membagi beberapa materi dan gambarannya menjadi 5 materi dan selama 5 hari juga kami mengerjakan sesuai pembagian itu. Aku pribadi tidak keberatan, kau tahu terkadang mengerjakan yang sedikit tapi sering itu lebih ringan daripada kau harus seharian penuh mengerjakan satu proyek sekali selesai. Maksudku, apa kita robot?
Berhubung baterai ponselku habis, aku berakhir luntang-lantung menunggu Anton dan Luna yang sedang beli makan siang di luar. Jadi kesibukanku saat ini hanya melamun, melihat ke luar jendela—yang langsung menghadap lapangan utama atau mengajukan pertanyaan random pada Mahesa yang kebetulan hanya dia yang ada disini. Okey aku merasa bersalah tapi dia target yang tepat untuk menyingkirkan kegabutanku.
Sekarang tenggorokanku kering, tapi sampai saat ini Luna dan Anton belum kembali dari urusannya. Dan jangan berkata bahwa aku harus menyusul mereka, aku bahkan tidak tahu mereka pergi kemana. Tapi tiba-tiba satu rencana licik terlintas di benakku—yaitu mencuri kopi Mahesa yang terletak di atas mejanya, tapi sebelumnya mari kita membuat situasi terlihat natural.
Aku berjalan mendekati Mahesa lalu duduk di sampingnya. "Hey! Menurutmu berapa panjang sungai amazon dalam satuan meter?" natural, kan?
"Mana aku tahu!" sewot Mahesa.
"Kau kan pernah olimpiade saat SMP."
"Itu matematika! Bukan pengetahuan umum."
"Ohh, matematika ya?" tanganku mulai meraih kaleng kopi yang ada di hadapan Mahesa, pelan-pelan menggesernya. Kupikir pandangannya tertutup ponsel, dia juga sedang fokus main game, jadi aman kan?
"Oke, kita ganti pertanyaan. Kenapa 90% pasangan LDR selalu gagal? Apa jarak mempengaruhi rasa cinta?"
"Kau gila, Ivy."
"Jawab!"
"Mana kutahu!"
Jeda sejenak.
Glek
Glek
Ah! Aku bersumpah kopi curian adalah kopi terbaik!
Dengan hati-hati aku kembali menaruh kopi itu di meja lalu menggesernya ke tempat semula. Kini hanya tinggal setengahnya. Semoga Mahesa tidak menyadarinya karena kau tahu meski ia bukan anak sembarangan tapi ia cukup pelit juga soal makanan.
"Jadi kau bisanya apa? Pantas saja saat olimpiade kau kalah," ucapku melanjutkan.
Mahesa tiba-tiba menengok, melotot tidak terima.
Lihatlah wajah kurang ajar itu. Ingin ku colok matanya dan mengunyahnya sampai remuk. Tapi di sisi lain aku merasa lega karena kupikir dia benar sedang sariawan. Ya, beginilah seharusnya Mahesa, ini Mahesa Chandra yang kukenal, sewot, julid, berisik dan tukang komen.
"Setidaknya aku masuk 5 finalis besar! Memangnya saat SMP kau berbuat apa? Kuyakin kau hanya beban keluarga."
Oke aku yakin dia tidak sariawan. Tapi apa maksudnya itu?! Beban keluarga katanya?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...