18. Came To Light

54 5 0
                                    

Sheza, Yasmine dan aku keluar dari ruangan dengan kebisuan yang cukup mencekik. Kami saling menatap canggung kecuali Sheza yang entah sejak kapan berkaca-kaca menahan tangisnya. Aku tahu ini bukan salahku tapi aku merasa memiliki tanggung penuh jawab atas kesedihannya. Aku ada disana, aku disana saat ibunya menghembuskan napas terakhir dan melihat bagaimana kematian itu bukan hanya sekedar kematian, tapi juga ketidakadilan. Aku dan Sheza hanya kelas 6 SD saat itu. Teriakkan ayah Sheza bukan hanya penyesalan tapi juga marah. Aku tidak tahu pasti cerita secara detail tapi apa yang kutahu Ibu Sheza memiliki banyak hutang dan tidak sempat membayar sehingga pemilik hutang itu melakukan sesuatu yang tentu dapat mengembalikan uangnya utuh. Terdengar tidak masuk akal tapi itu kenyatannya.

"Sheza—"

"Aku tidak apa-apa," adalah kebohongan terbesar yang pernah aku dengar. Dia tidak pernah tidak apa-apa dengan kematian ibunya. Aku tidak tahu apa yang Sheza pikirkan saat ia pura-pura kuat di depanku, maksudku apa menangis adalah sebuah dosa besar? Apa yang salah dari menangisi kematian seorang ibu?

"Kau tahu tidak semua orang menggunakan otaknya ketika berbicara jadi kau tidak perlu mendengarkannya," tepat setelah kalimat itu selesai Sheza menengok dengan matanya yang sembab, penuh air mata dan sorot mata yang terluka.

Ia tersenyum tipis, "aku tidak menyalahkannya, kau tahu aku hanya rindu. Meski itu sangat sakit untuk di ingat tapi bukan berarti aku harus melupakannya, kan?" jawabnya terkekeh canggung. Dan aku tahu itu bukan sebuah kekehan. Itu hanya upaya untuk menutupi luka, untuk menegaskan dia baik-baik saja, hanya sekedar rindu. Kau tahu, aku merasa marah, marah karena tak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkannya, menjanjikan dunia yang lebih baik untuknya persis seperti aku melihat Juno menangis di makam Rico. Kematian memang hal yang tidak bisa kau hindari, aku hanya merasa itu terlalu menyakitkan untuk diingat dan mereka pantas untuk bahagia.

"Jangan terlalu memaksakan, terkadang melupakannya sejenak bisa membuatmu lebih baik," itu Yasmine—yang ternyata masih belum pergi. Okey memang sebenarnya tidak sopan jika ia pamit lebih dulu. Hanya saja ini cukup canggung bagi Yasmine yang hanya orang asing—kau tahu kematian ibunya cukup sensitif. Tapi kupikir Sheza tidak masalah dengan itu?

"Ya, kau benar terkadang melupakannya sejenak bisa membuatmu lebih baik . Tapi bukankah itu egois? Aku tahu itu kenangan menyakitkan. Jika aku egois aku memang berharap aku tidak pernah ingat apapun mengenai kematian ibuku tapi kau tahu, sepahit apapun kenangan itu adalah tetap bagian dari hidupku yang harus kuterima dan kujalani. Menyakitkan, tapi jika aku melupakannya aku merasa bahwa aku sedang tidak menghargai kehadiran ibuku semasa hidup dengan melupakannya setelah mati. Dan itu bukan salahnya untuk pergi meninggalkanku, jika ibuku disuruh memilih tentu dia akan memilih hidup disini, melihatku tumbuh, melihat aku menggapai cita-citaku. Tapi itu di luar kendalinya. Dan aku tak bisa semerta-merta melupakan itu hanya karena it uterlalu sakit untuk diingat," itu jawaban terpanjang yang pernah kudengar. Dan Yasmine sedikit tersentak mendengar jawaban yang cukup menyentuh itu.

Mendengarnya membuat aku terpikirkan oleh Juno juga gadis ini. Maksudku mereka sama-sama punya kenangan yang menyenangkan tapi juga menyakitkan dan bagaimana mereka mengingat itu jika mereka benar-benar kembali bersama?

Mungkin akan sangat menyakitkan saat Juno dan Yasmine saling menatap dan mengingat masa lalu seperti ini. Tapi bukankah lari dari masalah adalah pilihan yang buruk? Mungkin itu menyakitkan, mungkin itu sangat membuatnya terluka tapi itu di luar kendali mereka dan mereka tak bisa menghindari rasa sakit itu. Kupiki mereka harus memeluk rasa sakit itu dan kembali bersama.

*****

29 Januari



"Ivy?"

Second RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang