31. Second Rain

101 3 0
                                    

"Ivy pindah sekolah."

Saat itu juga, Juno merasakan waktu seperti berhenti bergerak, suara riuh di sekitar seketika hilang, lenyap tergantikan oleh kalimat lima detik lalu yang meluncur dari mulut Sheza dan terngiang di otaknya terus-menerus. Dunia seperti runtuh hanya dalam hitungan detik, menyisakan satu emosi yang melekat di hatinya. Sakit. Dadanya yang sudah sakit terasa semakin sakit, semakin menikamnya. Seolah membunuhnya secara perlahan.

Otaknya kini sedang menyangkal kenyataan yang sebenarnya lebih cocok jadi mimpi buruk dimana bibinya tiba-tiba membangunkannya untuk pergi ke sekolah dan Juno menemukan kesempatan untuk berkata pada Ivy, bahwa Juno merasakan hal yang sama. Ia merasakannya, Juno mencintai Ivy. Sangat mencintainya. Seandainya Juno sempat untuk mengungkapkan ini mungkin keduanya akan berakhir bersama, saling berbagi rasa, menjadi sosok paling bahagia, yang menorehkan kisah cinta manis di masa SMA, membuat Ivy jadi perempuan paling beruntung, tanpa ada penyesalan setelahnya.

Tapi sekarang Juno sadar, itu adalah mimpi yang nyaris menjadi kenyataan jika saja Juno mempercayai Ivy saat itu. Jika saja Juno ingin mencari tahu dan mencoba mengerti posisi kala itu.

"Sejak kemarin dia tidak sekolah," jawab Sheza.

"Tidak mungkin, kau bohong kan?"

"Kau bodoh? Untuk apa aku berbohong?" gadis itu mendesis.

Cengkraman Juno melemah. Kakinya seakan lemas. Dia menatap dengan sorot mata menyedihkan. "Pergi ke mana?"

"Jakarta. Di stasiun Poncol, kurasa keretanya akan berangkat siang ini. Jam 14.00."

Juno memeriksa jam tangannya, jarum panjang menunjukkan angka 13.26.

"Ia berangkat sekarang?!"

"Iya tapi—" belum sempat Sheza melanjutkan kalimat Juno sudah berlari tergesa-gesa meninggalkannya yang terdiam membeku dengan kelakuan Juno.

Salah satu akses untuk keluar selain gerbang utama adalah tembok taman belakang sekolah, dan siapa kira? Juno benar-benar melakukannya. Tidak peduli dengan reputasi bodohnya yang berkata bahwa siswa teladam macam Juno tak pantas melakukan hal itu, sungguh, untuk saat ini Ivy lebih penting dari semuanya.

Rintik hujan perlahan menetes, turun menyapanya diiringi suara percikan air yang semakin jelas, semakin menegaskan luka, karena hal pertama yang Juno pikirkan saat hujan, adalah awal pertemuannya dengan Ivy, tentang bagaimana sore yang sepi itu tiba-tiba terasa ramai karena datangnya hujan, tentang bagaimana bulatan cokelat itu menghipnotisnya untuk tetap menatapnya selama satu menit penuh, tentang bagaimana aroma vanilla yang menguar itu mendebarkan jantungnya, juga kekehan kecil yang membuat hatinya menghangat. Juno berpikir bahwa sore itu adalah pertama kalinya dia merasa bahwa ia ingin melindungi seorang perempuan.

Sesekali Juno menyeka dengan kasar air matanya yang menyatu dengan tetesan air hujan. Seolah-olah dunia ikut berduka atas kesedihannya yang telah bodoh melepaskan seseorang. Juno tetap berlari sekencang mungkin, membiarkam tubuhnya menggigil karena terguyur hujan.

Taksi Juno berhenti di stasiun yang disebut Sheza sebelumnya. Tanpa mengulur waktu ia turun dari taksi, tergesa-gesa menuju ruangan dimana penumpang menunggu sebelum masuk ke peron, berharap menemukan Ivy sebelum terlambat. Namun seketika hatinya melolos saat melihat seorang gadis yang melewati pembatas menuju peron, dalam sedetik otaknya langsung mengenali bahwa itu merupakan gadis yang ia rindukan akhir-akhir ini, gadis yang merebut malam tenangnya dengan semua hal yang mengganggu tidur Juno, gadis yang membuat hari yang biasanya hanya sekedar hari yang berlalu menjadi berwarna, dialah gadis yang merubah dunianya, sumber bahagianya, Fera Ivanny.

Juno hendak menyusul, sebelum penjaga tiba-tiba menjagalnya dan menghalangi akses jalan masuk. Hal itu menimbulkan sedikit kebisingan sehingga Ivy yang berjalan tak jauh dari tempatnya berhenti dan menengok ke arahnya. Selama sepersekian detik iris mata keduanya saling beradu, dan Juno bisa melihat sorot mata kecewa disana.

Second RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang