BRUKKKK!!!
"Aww!" aku meringis kesakitan saat pantatku membentur lantai. Selama seperkian detik aku memaki dalam hati pada orang yang berani menabrakku sembari menepuk-nepuk seragamku yang kotor.
"Kau baik-baik saja?"
Seketika tanganku membeku—berhenti menepuk seragam. Bola mataku bergerak lambat menanggah ke atas. Sesuatu familiar tertangkap indera pendengaranku.
Kak Azel?
Dan Kate?
Aku tidak tahu kenapa reaksiku begitu berlebihan. Aku juga tidak tahu kenapa hanya dengan melihat mereka berdua rasanya bisa sesakit ini. Maksudku, itu wajar bagi mereka untuk bersama karena mereka sepasang kekasih, kan?
"Kau baik-baik saja?" Kak Azel mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri diiringi senyum termanis yang pernah kulihat. Sementara Kate memunguti kertas yang tadi sempat berterbangan dan berserakan di lantai. Hal itu membuat aku berpikir bagaimana bisa aku membenci orang sebaik Kate hanya karena rasa cemburu dan iri? Dia dapat segalanya karena dia pantas, dia dapat Kak Azel juga karena dia pantas bersanding dengannya. Lalu atas dasar apa aku harus membencinya?
"Terimakasih, Kak Azel, juga Kate," ucapku kaku sembari menerima kertas yang sudah Kate susun sebaik mungkin. Tapi lihatlah anak tidak tahu diri ini hanya mampu mengucapkan terimakasih saat mereka sudah begitu baik.
"Maafkan aku, aku tak sengaja," ucap Kak Azel.
"Itu sebenarnya salahku juga karena tadi aku sedikit jail pada Azel, aku minta maaf ya Ivy," tambah Kate terseyum manis. Kurang baik apalagi Kate hingga harus meminta maaf saat jelas-jelas aku yang salah. Aku yang lari kesetanan sepanjang koridor hanya untuk mengejar seseorang, kenapa harus Kate yang minta maaf?
"Oh kalian berdua kenal?" tanya Kak Azel. Dan ya mungkin benar Kak Azel belum tahu bahwa aku, Kate dan Sheza pernah satu regu saat masa pengenalan siswa hingga akhirnya kami terpisah kelas.
"Ah, dia satu regu saat ospek, ya kan Ivy?" aku mengangguk setuju.
"Oh begitu. Ivy ini adik kelasku. Aku sangat hapal dengan Ivy karena kita satu sekolah sejak SD. Ternyata Ivy sudah makin besar ya? Kau agak tinggi sekarang?" canda Kak Azel tertawa kecil. Aku tersentuh Kak Azel masih mengingat potretku bagaimana saat SD dan SMP. Benar, aku memang minum susu peninggi badan akhir-akhir ini. Kenapa ia peka sekali?
"O-oh iya.." jawabku canggung.
"Kalau begitu kami pergi duluan ya. Ngomong-ngomong kau benar tidak terluka?" Kak Azel kembali bertanya memastikkan apa aku terluka atau tidak, namun aku segera menggeleng.
Lihatlah, bagaimana aku bisa move on jika dia terlampau ramah begini padaku?
"Tidak tidak, aku baik-baik saja. Aku juga minta maaf karena berlarian di lorong," elakku. Setelah beberapa kalimat penutup akhirnya mereka pamit untuk pergi duluan. Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Melihat betapa sempurnanya Kate bahkan dari segi penampilan meski ia hanya terlihat dari belakang. Tubuhnya yang ramping, kakinya yang jenjang dan rambut hitamnya yang panjang berkilau. Dan lihat betapa serasinya mereka berdua saat jalan berdampingan. Lalu kenapa aku harus merusak kebahagiaan itu?
Saat hendak melangkah aku merasa kakiku menginjak sesuatu. Dan benar aku mendapati gantungan kunci terletak di lantai, berwarna pink berkilau dan berbentuk bulan. Apa ini punya Kate? Dilihat dari bentuknya ini terlihat seperti hadiah ulang tahun atau semacamnya, apa mungkin ini dari Kak Azel?
Aku kembali melihat ke depan dan tak melihat punggung Kate dan Kak Azel, mungkin mereka sudah berbelok. Apa aku harus mengembalikan ini? Maksudku, tentu saja aku sharusnya mengembalikan ini tapi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...