Hening melanda. Juno sibuk memperhatikan lampu jalanan. Mungkin ini pertama baginya melihat area sekolah di malam hari. Kupikir karena dia anti sosial dia jarang keluar rumah hingga malam hari.
"Kenapa semua anggota basket membencimu?" tanyaku tiba-tiba dan cukup random. Juno sedikit tersentak mendengar pertanyaanku, dia bisu sesaat.
"Kenapa tiba-tiba bertanya itu?" ia balik bertanya, teramat lembut—seperti tidak ingin menuduhku bahwa sebenarnya pertanyaan itu sangat tidak sopan. Berbanding terbalik denganku yang sangat lancang. Aku tahu itu tidak sopan tapi aku tidak peduli.
"Aku hanya penasaran," jawabku sewot.
"Mereka tidak membenciku," lihatlah dia membela anggota basket yang brengsek itu.
"Ya, mereka membencimu. Buktinya saat kau terjatuh kenapa tak ada yang menolong?"
"Mungkin mereka juga terkejut?"
"Tidak masuk akal."
"Sebenarnya ada Kak Fahri yang membantu."
"Maksudku selain Kak Fahri. Semua orang juga tahu dia kakak tingkat paling ramah sedunia."
"Aku yang salah karena tidak bisa bergaul dengan mereka, mungkin mereka juga canggung denganku?" kau lagi kau lagi. Salahkan saja terus dirimu.
"Kenapa terus—" ucapanku menggantung saat Juno tiba-tiba pergi dengan setengah berlari menyusul siluet seseorang di tempat penyebrangan jalan. Lampu jalan menunjukkan hijau—yamg artinya kendaraan dipersilahkan untuk maju, tapi gadis di zebra cross itu masih berjalan lunglai di tengah. Juno menyusul secepat mungkin dan berhasil menarik gadis itu untuk menepi. Dan entah kenapa aku merasakan sesuatu aneh, aku merasa gadis itu bukan orang asing bagi Juno.
"Kau tak apa?" dan nada yang santai itu membuat aku semakin yakin bahwa keduanya memang saling mengenal. Entah kenapa pikiranku tertuju pada gadis di surat cinta milik Juno. Maksudku, Juno mengenalnya dan kemungkinan satu-satunya gadis yang dia kenal sebelum aku adalah gadis ini.
Dengan segera aku menghampiri keduanya, melihat penampilan gadis itu sedikit kacau, rambut ikalnya berantakkan, wajahnya yang sembab seperti sehabis menangis. Dilihat dari keadaannya yang sempat linglung di jalan tadi aku berasumsi mungkin dia memang sedang kalut.
"Kenapa kau bisa menangis di tengah jalan—"
"Pergi sialan!"
Astaga, apa itu ucapan terimakasihnya pada Juno setelah lelaki itu menolongnya? Sedetik aku merasa familiar dengan wajah dan suara itu. Aku merasa pernah mendengarnya samar, tapi dimana?
'ANTI SOSIAL SIALAN'
Benar, dia perempuan yang menampar Juno di parkiran tempo lalu? Apa benar dia orangnya?
"Jangan sok peduli padaku!" gadis mendorong Juno membuat ia sedikit terhempas ke belakang. Dan aku tak mengerti kenapa lelaki yang justru menolongnya diperlakukan seperti ini? Sementara Juno hanya terlihat pasrah, lagi-lagi sorot matanya terlihat terluka.
"Apa kau akan terus seperti ini?" jawab Juno, suaranya parau terlihat seperti menahan tangis. Dan entah kenapa aku merasa terluka disitu. Dia seperti punya hubungan khusus dengan gadis ini dan aku hanya merasa aku tersingkirkan.
"Kau tahu apa kesalahanmu, tapi kau masih bersikap seolah semuanya bukan apa-apa?"
"Yasmine aku—"
Plakk!!
"Pergi kau brengsek!"
Aku terkejut. Hanya berdiri beberapa meter jauh dari Juno tapi aku merasa seperti aku ikut tertampar. Hey, Juno sedang terluka, dia baru saja aku obati dan gadis itu dengan entengnya menampar pipi Juno? Aku semakin yakin bahwa gadis ini benar gadis yang menampar Juno di parkiran beberapa hari lalu. Itu persis seperti apa yang kulihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...