"Siapa yang mencuri ponselmu?"
Oh astaga! Apa berita ini sudah menyebar ke seluruh angkatan?
"Darimana kau tahu?"
"Ini," gadis itu mengangkat ponsel, menunjukkan ruang pesan grup satu angkatan yang ramai oleh berita kehilangan ponsel—yang kemungkinan orang lain juga menyebarkannya ke angkatan 2 dan 3. Pasti anak-anak di gerbang itu gerak cepat membuat berita. Kurang ajar.
Sebenarnya aku mengira pagi ini akan menjadi pagi yang tenang karena masalah kehilangan ponsel ini sudah segera aku klarifikasi di ruang konseling. Tapi apa boleh buat aku tak bisa menghentikkan mulut-mulut gatal yang senang sekali menyebarkan berita tanpa tahu kepastiannya.
Okey salahku.
"Itu salah paham, ponselku ada di tas," jawabku sambil menggoyangkan ponsel.
"Kau mungkin terlambat, satu sekolah sudah tahu," celetuk Sheza menakutiku.
Tidak mungkin?!
"Ivy apa ponselmu hilang?!"
"Berita itu serius?!"
"Siapa maling kurang ajar itu?!"
"Kakak tingkat sudah tahu berita ini!"
"Apa maling itu mengembalikannya?!"
Sebelum aku sempat tarik napas tiba-tiba teman kelas mengelilingi mejaku dan membombardir seribu pertanyaan tentang dimana ponselku dan siapa pencurinya. Dia seperti orang yang haus akan berita.
Sheza benar, ini sudah sangat menyebar.
"Tidak, tidak! Semua tidak benar, itu salah paham, ternyata ponselku ada di tas!" lagi-lagi aku mengangkat tinggi ponselku.
"Terus malingnya?"
"Tidak ada maling! Ponselku tidak hilang!"
"Kau serius?"
Aku mengangguk.
"Satu sekolah sudah tahu, kau harus klarifikasi agar tak terjadi salah paham."
Benar juga, bagaiamana jika lelaki itu mendapat sanksi sosial dan semakin dibully? Apa aku semakin mempersulit hidupnya?
"Sheza sini!" aku menarik seragam Sheza, memaksanya untuk memotreku dan membuat video dengan bukti ponsel yang aku genggam dan mengirim pesan broadcast sebanyak-banyaknya
Cekrek!
"Kau bisa memotret tidak?!"
"Ya, kau jangan berkedip!"
Cekrek!
Untuk kesekian kalinya akhirnya foto dan vidio dikirim ke grup angkatan dengan caption klarifikasi bahwa berita kehilangan ponsel itu sepenuhnya salah paham.
"Sudah?!"
Sheza membentuk tangan 'ok' tanpa memandangku dan sibuk mengirim foto klarifikasi itu ke seluruh grup, bahkan grup ekskul basket, dance, balet milik teman-temannya.
Bagus, sangat totalitas. Dia ada potensi jadi babu.
*****
"Ada apa?" Sheza menatapku penuh harap—berlagak seperti anak anjing yang minta makan. Aku sudah punya asumsi dia akan minta sesuatu yang aneh. Biasanya jika jam akhir sekolah dia izin pulang dengan kekasihnya—lewat tatapan itu. Tidak tahu sekarang, setahuku sudah putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...