"Hai Ivy, hanya mengingatkan jangan pulang karena ada diskusi kelompok praktikum hari ini. Diskusinya 30 menit lagi jadi kau bisa melakukan aktivitas yang lain lebih dulu. Mahesa sedang di ruang musik dan Luna ada di perpustakaan, aku akan ke ruang osis, kau bisa kesana jika hendak mencariku," itu Anton, tersenyum padaku dengan berkas menumpuk di tangannya dan tas yang kupikir perlengkapan untuk event osis selanjutnya. Tidak tahu apa, mungkin rahasia. Tapi hal yang kuherankan, kenapa dia berasumsi bahwa aku hanya akan mencarinya? Kenapa tak bilang, 'kau bisa menyusul Luna atau Mahesa ke tempatnya,' entahlah, mungkin rahasia juga.
Anton melangkah keluar kelas lalu berbelok ke arah kanan dan penampakkannya hilang di balik tembok.
Setelah bergelut dengan pikiran aku berencana menyusul Luna di perpustakaan, meski sebenarnya aku bisa saja menemui Mahesa dan mendengarkan permainan pianonya tapi kau tahu aku sedang muak melihat wajahnya. Aku dan Mahesa cukup dekat—meski semua perempuan di kelas kami dekat dengan Mahesa karena lelaki ini terlihat seperti adik bungsu daripada teman sekelas. Tapi jika aku boleh pamer diantara semua gadis itu memang aku yang paling dekat dengan Mahesa. Dia adalah tipe orang yang mudah dijaili jadi kau tahu aku bisa pergi ke sana saat aku bosan. Mahesa akan meladeniku entah itu curhat, mengeluh atau bertengkar.
Aku hendak keluar kelas sebelum seseorang dengan badan tinggi mengahalangi jalanku. Saat aku mendongak menatap wajahnya, aku terkejut mendapati Juno sudah berdiri di ambang pintu?
"H-hai?" dia menyapaku canggung, dan anehnya akupun ikut canggung. Mengingat kejadian tempo lalu, aku bahkan tidak mengucapkan kata apapun dan langsung kabur menaiki taksi. Tentu saja itu terasa canggung.
"Emm, kau ada waktu?" okey, sangat to the point. Apa ada urusan penting?
"Hari ini?" Juno mengangguk.
Aku terdiam sejenak, mengingat bahwa 30 menit lagi ada diskusi kelompok biologi, haruskah aku berkata aku tak ada waktu? Maksudku, hey dia bisa saja salah tangkap dan berpikir aku tengah menghindarinya dengan alasan diskusi kelompok itu. Tapi jika menyetujuinya bagaimana jika Anton marah?
"A-ada," jawabku terbata-bata. Aku tahu persis apa konsekuensi yang akan kudapat saat berkata 'ya'. Tapi aku juga tahu persis konsekuensi yang akan kudapat jika berkata 'tidak', dan menurutku itu lebih buruk.
"Mau kah kau pergi denganku?"
"Kemana?"
"Ke tempat paling indah."
Okey, kenapa dia mendadak puitis begitu, maksudku dia bisa saja bilang 'tempat yang bagus', tapi ya terserah dia ingin mengucapkan apa.
"Oh okey."
Aku dan Juno berjalan beriringan hingga menuju halte bus, dia tak mengucapkan apa-apa selama perjalanan hanya menatap sekitar—selain aku. Itu jelas sekali dia menghindari bertatapan denganku, dan aku merasa mungkin dia belum benar-benar memaafkanku, jadi aku berinisiatif untuk meminta maaf lebih dulu, seperti yang dikatakan Sheza.
"Hey, aku minta maaf soal hari itu?"
Juno menoleh, "Soal apa?"
Jeda sejenak, aku tersenyum canggung, ragu untuk mengatakannya. Aku bukannya malu untuk meminta maaf, jika aku memang salah aku tidak keberatan harus meminta maaf lebih dulu. Tapi kau tahu aku hanya merasa malu mengakui bahwa diriku pernah selancang itu pada Juno.
"S-soal itu. M-mencampuri urusanmu, membuatmu malu di depan gadis bernama Yasmine dan juga meninggalkanmu kemarin," ucapku nyaris tidak terdengar. Tapi kurasa Juno mendengarnya cukup jelas.
"Oh soal itu? Tidak masalah."
"Tidak masalah?"
"Aku sudah melupakannya. Kau juga pasti punya alasan mengapa melakukan itu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Teen FictionSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...