Ini sudah yang ke dupuluh kalinya aku mondar-mandir tak karuan di ujung koridor berharap masih sempat bertemu dengan Juno sebelum beranjak pulang. Kau tahu sejak insiden Juno terjatuh di lapang basket tadi aku jadi sedikit khawatir karena sepertinya Kak Daniel bukan tipe orang yang melupakan masalah dengan cepat sebelum diselesaikan. Bisa aku lihat selama permainan berlangsung ada tatapan tidak menyenangkan dari Kak Daniel yang dilemparkan Juno. Aku berpikir mungkin Kak Daniel perlu memberi tahu sesuatu bahwa kesalahan tadi bisa dibilang cukup fatal untuk anggota basket yang akan segera keluar kota untuk berkompetisi. Tentu saja ketua basket tak akan tinggal diam dengan itu. Tapi aku khawatir akan ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang berpotensi menyakiti Juno.
Hari sudah semakin gelap dan aku belum menemukannya sampai saat ini juga. Seingatku sehabis latihan selesai mereka kembali ke ruang ganti pria dan mungkin ke ruang basket untuk berdiskusi, tapi hingga saat ini aku tak menemukan satu anak basket pun melewati gerbang utama, khususnya Juno. Ayolah, sudah dua jam aku berdiri disini, aku bahkan sudah bisa merasakan rasa pegal yang menjalar di kedua kakiku. Siapa yang akan bertanggung jawab? Apa si ketua basket itu? Tidak kan? Berani-beraninya dia membuatku menunggu selama dua jam lamanya.
Aku menyerah, mulai bersandar pada tembok di belakangku, perlahan merosot kebawah lalu menenggelamkan kepala frustasi. Gedung areaku sudah sangat gelap, sepanjang koridor pun tidak ada penerangan apa-apa karena memang sudah menjadi ketentuan sekolah bahwa bagaimanapun keadaannya sekolah harus tutup saat malam hari. Kini hanya tiang lampu di sepanjang jalan menemani sepiku. Haruskah aku pulang? Dua jam sudah cukup lama. Dan aku tidak bisa terus diam disini untuk menunggu hingga jam ketiga.
"Ivy?"
bingo!
Itu Juno.
Dengan cepat aku bangkit, mendekatinya lalu tanpa basa-basi memutar badannya, memeriksa apa ada sesuatu yang terluka atau tidak.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku tak sabaran. Tak peduli dia menganggapku bocah yang terlalu obsesif atau apapun. Yang pasti aku hanya ingin memastikkan bahwa Juno dalam keadaan yang baik.
Juno hanya tertawa kecil melihatku dan menjawab bertubi-tubi bahwa ia tidak apa-apa. Awalnya aku cukup lega dengan pengakuannya karena ia terlihat meyakinkan dengan tawa gemas itu, sebelum seketika aku terhenti saat menemukan sesuatu asing di sudut bibirnya.
Luka baru?
Bukankah insiden di lapang tadi hanya melukai pelipisnya saja? Kenapa ini semakin bertambah?
Apa mimpi burukku benar-benar terjadi? Aku sempat berburuk sangka pada Kak Daniel, berpikir mungkin Kak Daniel memukul Juno habis-habisan dan melakukan sesuatu seperti senior lain membully-nya sebelum aku mengenyahkan pikiran itu karena kurasa tertlalu keterlaluan menuduh Kak Daniel sebagai orang sejahat itu.
Tapi ternyata, itu benar? Kak Daniel memukul Juno?
Astaga, ini keterlaluan. Apa Juno tak pantas dimaafkan? Apa memukulnya salah satu cara menyelesaikan masalah?
Manik mataku langsung menelisik wajahnya yang terlihat begitu pucat, melihat pipinya lebam dan ujung bibirnya yang berdarah. Hey! Bahkan luka goresan di dahinya belum tersentuh obat apapun. Kenapa tidak ada yang peduli?
Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Seolah-olah ada benda yang menikam ulu hatiku. Ini lebih sesak dari sekedar melihat Kak Azel dan Kate berduaan. Aku tidak tega melihat Juno seperti ini. Aku tidak tega melihatnya diperlakukan layaknya seorang penjahat, dia benar-benar jauh dari kata penjahat.
"Bibirmu terluka?"
Juno refleks menyentuh sudut bibirnya, tapi meringis kesakitan kemudian ketika perih itu menguar bahkan saat ia bergerak atau tersenyum. "Aku tidak apa-apa kok," dia tersenyum, senyum tulus yang membebaniku. Entah kenapa aku merasa bodoh dengan Juno yang masih bisa memamerkan senyum tulus padahal ia sedang tidak baik-baik saja—tidak baik dalam arti luka itu menyakitinya saat tersenyum, juga batinnya yang terluka karena harus berpura-pura tersenyum,
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
أدب المراهقينSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...