5 Februari
"Hey mau beli eskrim?" tanya Sheza. Aku hanya menatap kosong koridor yang sudah cukup lengang, beberapa siswa sudang meninggalkan gedung mungkin hanya tinggal kami berdua di gedung ini. Salahkan Sheza yang entah sejak kapan peduli soal menyalin materi. Maksudku aku dan Sheza tidak memiliki kata rajin dalam kamus kita. Kurasa ia kerasukan.
"Mau tidak?!"
"Apa?"
"Kau melamun lagi, beli eskrim?" ulangnya. Jika dipikir-pikir sudah lama aku tidak makan eskrim langganan itu—oh mungkin tidak begitu lama. Kupikir satu bulan lalu aku kesana dengan Juno, kan? Lagian sebulan sekali bukan masalah besar, aku juga tidak ada agenda apa-apa sore ini.
"Kau yang traktir?" tanyaku berbinar-binar.
"Kau miskin?"
Sialan!
"Kau yang mengajakku."
"Yasudah tinggal tolak," responnya sambil mendecih. Padahal jika aku hitung-hitungan sudah berapa ratus kali aku membelikannya makanan—bahkan mentraktirnya pizza dua kali dalam seminggu. Dia benar-benar tukang palak. Sekarang hanya eskrim seharga 20 ribuan?
"Aku sedang menabung sekarang," jawabku dengan wajah melas.
"Yasudah."
"Tapi aku ingin eskrim."
"Minta sana pada Juno, kau kemarin menjenguknya beberapa hari—aku tidak tahu kau serajin itu. Tidak ada salahnya kan meminta eskrim sebagai imbalan?"
Sinting.
"Maksudmu aku pulang pergi rumah sakit hanya karena sebuah esrkim? Konyol."
"Lalu kau mengharapkan apa? Cinta? Omong kosong, kau pikir dia akan menyukaimu?"
"Siapa tahu? Dia menunjukkan tanda-tanda tertarik padaku," aku tahu ini sedikit mengecewakan karena tidak ada kepastian bahwa Juno juga merasakan rasa yang sama denganku. Aku hanya menghibur diri.
"Kau hanya satu-satunya teman, pasti dia berbuat baik."
"Diam—"
"Sheza?" ucapanku terinterupsi oleh kedatangan seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Sheza.
"Kita harus bicara!" yap, dari nadanya yang lugas sudah jelas satu-satunya orang yang berani menaikkan nada selain aku adalah Wisnu. Lelaki itu mencengkram tangan Sheza cukup kuat. Itu ngeri.
"Bicarakan saja disini!"
"Ada sesuatu yang harus ditanyakan!" nada Wisnu semakin naik. Dan kalian sudah tahu temperamen Sheza seperti apa? Tentu dia lebih menaikkan nada.
"Lalu tanyakan disini, bajingan!" Wow, dia masih bisa berkata kasar pada seseorang yang masih dicintai. Salut!
"Apa aku pernah berkata padamu bahwa kau membebaniku?" Aku dan Sheza reflek berpandangan bingung. Terlihat seperti cerita yang beberapa hari lalu Sheza katakan padaku. Mencurigakan, bukan?
"Katakan dengan jelas, sialan!" dua kali gadis itu memaki dan kedua kalinya aku salut.
"Apa kau pernah bertanya padaku bagaimana aku menganggapmu?!"
Sheza berdecak dan mendelik kesal sebelum kembali menatap Wisnu. "Sekali lagi kau bicara ngawur pergi kau dari sini!"
"Selingkuh itu palsu kan?"
Aku dan Sheza berpandangan—lagi, kali ini seratus persen mengerti apa yang dibicarakan Wisnu. Kami seperti telepati dengan tatapan itu.
'Apa dia mendengar semuanya?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Rain
Novela JuvenilSore itu, hujan mempertemukanku dengan seorang lelaki pemilik payung merah. Kehangatan yang ia berikan lewat payung tersebut membuatku menyimpan sebuah perasaan yang semakin hari semakin mendalam. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaan yang tak...