What Kind of Future : 16

101 13 8
                                    

Daegu, Korea Selatan 1974

Waktu benar-benar telah memakan habis setiap kenangan di dalam benak. Meski setiap malam yang dilalui terasa begitu hampa dengan jutaan kerinduan yang meraung, tetapi siapa sangkah paginya mereka tetap melanjutkan langkah. Menanjaki perjuangan demi secercah harap; akan ada kebahagian yang menanti di masa depan kendati mereka tak lagi sejalan.

Langkahnya yang letih tak pantang menyerah. Kepatuhan akan perintah yang diteriakan padanya menuntunnya untuk mengubur semua kekecewaan yang ditinggalkan oleh sosok yang ia rindukan. Ia sebut sosok itu sebagai mawar putihnya yang hilang. Figur cantik dengan surai panjang yang kerap tersenyum padanya kini perlahan samar dalam memori.

Tiga tahun lamanya, tetapi rasa yang ada dalam sanubarinya masih ada. Bersembunyi di balik ketundukannya pada takdir yang begitu kejam. Menuntutnya untuk melepaskan penah tempatnya menggantung mimpi, menggantikannya dengan lembaran-lembaran berbau bisnis—tentunya bukan impiannya.

Namun, ia tak bisa melawan takdir. Selama tiga tahun ini, ia berdiri layaknya sebuah boneka yang digerakkan sesuka hati oleh sosok yang kerap ia panggil dengan sebutan ayah. Meski setelan jas mahal yang melekat pada tubuh tegapnya tidaklah istimewa baginya. Ruangan berisi barang-barang mahal serta tumpukan berkas bukanlah kehendaknya.

Di sanalah ia sekarang, berdiri di depan sebuah jendela besar sembari menatap langit yang tak lagi sama. Wajah yang kerap ia bayangkan di antara gumpalan awan tak lagi ada di sana, ia sendirian tanpa sedikitpun kabar tentang bunganya yang hilang.

Tepat kala kedua jemari yang awal bersidekap kini meraih sebuah piringan hitam kemudian diletakan di atas kotak musik, suara pintu yang diketuk terdengar.  Lantas presensinya menoleh mendapati sesosok pria berbalut jas cokelat yang datang dan membungkuk hormat padanya.

"Koran pagi ini, Presdir Kim."

Sosok yang jauh lebih tua dari sang pemilik ruangan menyodorkan lembaran yang dilipat. Si Kim terima itu dengan senang hati disertai senyum ramah yang diperuntukan pada sang asisten. Barulah selepas itu ia beranjak kembali ke kursi kerjanya.

Netra yang masih setajam tiga tahun yang lalu itu menatap lembaran koran lokal yang dibawa sang asisten beberapa saat yang lalu. Sekilas membaca beberapa berita lokal maupun luar kota di atas kertas bercetak hitam putih itu. Sosoknya membaca dalam ketenangan, suasana kala itu sungguh senduh senada dengan lagu klasik yang mengalun dari piringan musik.

Namun agaknya, ketenangan itu tak dapat menghuni lama. Kala lembar ketiga dibuka, kedua netra itu semakin menajam, bersamaan dengan sirnanya ketenangan dalam jiwa.

Punggung yang semula bersandar pada sofa telah menegak. Ada sebuah lonjakan yang terasa dari balik dadanya kala pandangannya menemukan entitas itu. Sosok yang begitu ia kenali dalam sebuah foto di satu berita.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang