EPILOGUE

107 12 6
                                    

Daegu, 31 Oktober 1994

Tibalah saatnya lembar terakhir disapu. Ini mungkin hanya salam perpisahan yang sulit diartikan sebagai indah atau pilu. Kendati guliran waktu terlalu terburu-buru hingga menyeret kisah ini sampai pada dua puluh tahun kemudian selepas hati malang dihancurkan.

Agaknya, tak hanya bumi sang manusia yang tak lagi sama. Kisah ini pun tak lagi menceritakan duka yang sama.

Kisah ini bukan tentang Kim Taehyung dan kekasih gelapnya Shin Aleeya. Melainkan milik seorang cantik yang kini mejejaki lantai kayu tua, tanpa beralaskan apapun. Satu guratan senyum merekah pada wajah elok nan muda itu. Benar, ia memang masih sangat muda layaknya bunga yang baru saja pucuk. Usianya menginjak tujuh belas tahun kala untuk pertama kalinya menginjak kota Daegu—kota kelahirannya.

Tempat yang tak lagi sama.

Langitnya yang dulu dihiasi gunung-gunung yang menjulang agung, kini mulai dikejar posisinya oleh bangunan tinggi buatan manusia. Bahkan di kaki gunung, manusia mulai mendirikan tempat bernaung. Jalan yang dulunya hanya sebatas jalan berkerikil, kini disihir menjadi jalanan beraspal dengan beberapa halte di bahu jalan. Meski tak seramai ibu kota, Daegu tetap menjadi kota kebanggaan si muda.

Langkah tubuh ringkih itu berhenti sejenak. Kaki putih dan jenjangnya sampai di depan sebuah pintu kayu. Pandangannya terangkat yang mulanya terfokus pada sebuah alat canggih yang sedang tenar tahun itu. Alat yang digunakan untuk merekam suara dan visual—orang-orang sebutnya handycam.

Kedua netranya mengerjap, lantas melirik nakal ke belakang untuk memastikan tak ada saksi mata. Merasa telah aman, pintu didorong pelan. Usianya saat ini masih tujuh belas tahun, masih banyak hal yang tak ia ketahui, sebab itulah ia selalu berusaha mengetahui banyak hal baru. Termasuk isi dari ruangan yang bisa ia tebak siapa pemiliknya kala ia masuk.

Hanya saja, ia tak sadar bahwa ada jaman yang berbeda di dalam ruangan itu, yang sengaja diabadikan agar ia tetap hinggap di dalam ingatan. Jaman di mana sosok yang saat ini selalu memandangnya senduh, hanyalah seorang anak muda mencari arti masa depan.

Gadis dengan surai panjang serta hitam legam itu berdiri di depan sebuah dinding. Di mana kala ia menengadah, ia dapati sesosok cantik yang tersenyum begitu lugu—diabadikan dalam sebuah potret yang berketerangan 1972. Sekali lagi ia mendelik ingin tahu. Wajah itu tak asing, tetapi tak juga ia kenal.

Di sisi lain, tumpukan kertas usang mulai menarik perhatian si muda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sisi lain, tumpukan kertas usang mulai menarik perhatian si muda. Degup jantungnya memacuh kala ia putuskan untuk mendekat pada meja yang tak jauh dari titik tempat tubuhnya semula. Beberapa laci ia buka, meski harus sedikit terbatuk karena debu. Lantas saat ia keluarkan sebuah cerita yang tenggelam selama puluhan tahun, ia semakin terseret jauh.

Pada akhirnya gadis yang awalnya hanya bertujuan untuk menjelajahi kediaman mendiang kakeknya itu, merasa tertarik pada topi bulat berwarna hitam serta secarik syal merah yang seolah merupakan pusaka dari masa lalu. Hal yang masih menjadi gelitikan keingintahuan pada benaknya.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang