What Kind of Future : 10

197 42 76
                                    

Cahaya bulan malam itu amatlah cantik dan terang. Gumpalan-gumpalan putih yang sangat jarang terlihat di malam hari, muncul mengitari sang bulan yang kesepian. Bergerak amat pelan seakan tak ingin malam itu berakhir dengan cepat.

Bulan dan awan tampaknya seperti sedang saling berbincang riah di atas sana. Menanyakan tak apakah jika awan tetap menemani bulan meski pada takdir mereka, awan hanya diperkenakan untuk menemani matahari. Lantas, dosakah sang awan yang telah berkhianat pada matahari hanya untuk sebuah bulan yang kesepian? Tak ada yang tahu pasti selain Sang Penulis takdir, bahkan netra yang menatap sang bulan di bawahnya pun tak tahu.

Kemerahan masih samar terlihat mengitari netra cantiknya kala ia mengayun langkah begitu ringan beriringan dengan satu kayungan langkah lain.

Senyap untuk beberapa waktu kendati memang sengaja agar perasaan yang menggebuh dalam dada masing-masing dapat meredah.

Objek-objek di tepian jalanlah yang menjadi pelarian sekarang. Ditatapinya satu per satu seakan tak ada yang lebih menarik dari benda-benda itu. Padahal ada entitas di samping yang menunggu sebuah penjelasan.

"Perasaanmu sudah membaik?"

Pertanyaan itu mengalun dari bibir sang pria yang memilih mengalah untuk mengakhiri kecanggungan yang menyelemuti. Suaranya yang agak pelan membuat sosok bergaun merah mengalihkan pandangannya dari pertikaian sang awan dan bulan. Mendapati sebuah keindahan lain yang beriringan dengan langkahnya. Wajah yang begitu elok parasnya bahkan meski ada goresan luka di beberapa titik.

Alih-alih menjawab, sang pemilik surai panjang itu justru tertunduk menatap sepatunya yang menghasilkan dentuman setiap kali menyentuh tepian jalan. Jemarinya bergerak meraba sekitaran matanya yang terasa tak nyaman karena bengkak sehabis menangis tersedu-sedu di hadapan pria yang bungkam sembari mengusap punggungnya.

Tak ada penjelasan yang ia dapat dari sang pria dan ia pun memilih untuk tak menaburi garam pada luka pujuaan hatinya dengan memberikan banyak soalan menyakitkan. Ia sudah cukup tahu dan merasa sangat bersyukur kendati kasihnya masih bisa keluar dari rumah itu dengan selamat.

Bibir yang pucat kering milik si tampan kembali terbuka kendati tak mendapat sahutan dari wanita di sampingnya. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana bahannya sebelum akhirnya berujar mencoba memberi sebuah ketenangan.

"Aku baik-baik saja," katanya.

Aleeya menoleh seketika, menatap kedua netra si tampan sembari spontan menjawab dengan keras. "Mana mungkin. Kau usai dipukuli."

Bungkam lagi, kedua anak muda itu memilih saling memandang untuk beberapa saat. Di mana ada jutaan rasa serta makna yang disisipkan pada masing-masing sorot. Si cantik sedikit kecewa pada paras Taehyung. Ia tak suka melihat lelaki itu selalu terlihat tenang meski sedang terluka.

Langkah pun berhenti untuk sejenak. Membiarkan afeksi sisa-sisa ketakutan mengambil alih suasana. Di mana keduanya tak dapat menemukan obat dari ketakutan yang ada. Aleeya takut terjadi apa-apa pada pria bunga layunya sementara Taehyung takut ia akan mengecewakan wanita Shin jika nantinya ia kenapa-napa.

Kini giliran bulan dan sang awanlah yang menjadi sebuah saksi. Mencoba menemukan apa yang salah di antara kedua insan saling mencinta itu.

Aleeya mengalah lebih dahulu. Netranya bergulir menatap ke depan pada sebuah bangunan kecil dengan lampu penerang di depan. Tungkainya kembali berayun dengan jemari yang menangkap pergelangan tangan Taehyung. "Mari kita obati lukamu di apotek."

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang