What Kind of Future : END

95 11 2
                                    

Seoul, Korea Selatan
15 Agustus 1974 (12:30 KST)

Kala itu saatnya kelopak mawar putih untuk mekar. Meski ia bukan mawar paling cantik, ia tetap senang akan takdirnya sebagai setangkai bunga. Bahkan jika pada akhirnya ia harus gugur tanpa dipetik oleh siapapun, ia merasa adil.

Dunia memang bukan tempat untuk bersenang-senang. Kata orang, dunia adalah tempat mengukir kenangan. Mereka tidak menyebutkan apakah itu kenangan indah, atau justru kenangan pedih. Kurasa, daripada menjadi anak muda yang mencongkak pada cara kerja dunia, lebih baik menjadi mawar putih yang berserah pada takdirnya.

Manusia adalah milik Tuhan. Aku adalah milik Tuhan. Namun, selama ini aku memaksakan Kim Taehyung untuk jadi pemilik hatiku.

Lantas kuukir sedikit lekuk senyum di wajah. Dari netraku yang sudah hampir mengatup, kulihat orang-orang berlarian. Atap putih yang berhadapan langsung denganku, bergerak cepat. Beberapa orang menatapku risau. Sungguh senang rasanya.

Aku hidup sendiri di usia yang sangat dini. Bahkan terkadang harus kuupayakan lebih keras untuk mengingat wajah kedua orang tuaku. Aku telah terbiasa dengan sunyi. Namun, kali ini banyak yang merisaukanku.

"Merah! Dia zona merah! Luka tembak di dada dan perut!"

Ternyata seperti ini rasanya berada di ambang kepulangan. Ternyata beginilah rasanya bunga yang tahu bahwa musim gugur hampir datang. Kurasa ini adalah jalan yang terlalu mudah. Kurasa ini kepulangan yang terlalu indah untuk anak pendosa sepertiku.

"Shin Aleeya, identitas terverifikasi. Silakan lakukan pertolongan."

Sanubariku berkecamuk dongkol. Benarkah ini akhirnya? Atau mungkin aku masih diberi kesempatan untuk mengucapkan maaf pada semua orang yang telah kulukai hatinya.

Pergi dalam keadaan seperti ini sebenarnya tak masalah. Lagipula, dunia hanya panggung tempat mengukir kenangan, bukan? Kuharap ini akan menjadi kebaikan terakhir yang kuukir sebelum aku gugur yakni; melepaskan Kim Taehyung.

---oOo---

Seoul, Korea Selatan
15 Agustus 1974 (6:47 KST)

Sejatinya manusia ialah kepunyaan Sang Pencipta. Pada akhirnya yang hidup akan rata dengan tanah. Pun pada takdirnya manusia bukanlah makhluk abadi. Cepat atau lambat mereka akan kembali pada pangkuan Penciptanya sebagai akhir dari lembar takdirnya.

Manusia tahu status kefanahan itu. Namun, mereka terlalu banyak menuntut. Mengeluh untuk segala hal yang berseberangan dengan angan. Tanpa mau memahami bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki hadiah lain untuknya.

Lantas hadiah apa yang akan diterima oleh Kim Taehyung? Kala ia merasa dunianya telah berakhir petang dingin itu. Riuh pikuk ibu kota hampir membunuhnya, tetapi menginjakkan kaki di Rumah Sakit Pusat Seoul ternyata lebih menyesakkan. Ia lihat beberapa rangkaian bunga telah berjejer di beberapa lorong menakutkan itu. Pun tangis masih tersisa di sana.

Kim Taehyung melangkah begitu pelan kendati ia mencoba membujuk sedihnya bahwa ini belum berakhir. Ia sampai di belahan bumi itu selepas kabar mengerikan menghampirinya di Daegu. Telepon dari rumah sakit membuat ia terburu-buru ke stasiun, bahkan tanpa membawa selembar pakaianpun selain yang ia kenakan.

Negara kecintaannya memang belum menjadi negara yang baik. Namun, komunis berhati dingin yang menyebut dirinya pembawa kemerdekaan, membuat Korea Selatan menangis lagi kala itu. Kim Taehyung hanya tak mengerti, mengapa dari jutaan penduduk korea, harus bunganya yang berdiri di hadapan komunis di hari itu.

Ini terlalu kejam, jika harus menjadi perpisahan.

Pelaku penyerangan Upacara Kemerdekaan di istana negara diringkus oleh badan keamaan negara.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang