PAGE FIVE : "Pulang"

87 10 0
                                    

Daegu, Korea Selatan
15 Agustus 1974

Riuh datang menjemput, kala kereta dari Seoul telah berhenti di stasiun utama kota Daegu. Tempat yang memberikan suguhan pemandangan jauh berbeda dari sang ibu kota. Bahkan langit yang membentang di atas kota tersebut dihiasi dengan beberapa gunung hijau yang membuat udara di sana lebih menyejukan dibandingkan di ibu kota.

Sulit dipercaya, ia telah kembali---menginjak kampung halamannya setelah semua yang terjadi dalam tenggang waktu yang tak sebentar. Mengingatkannya kembali pada kehidupan masa kecilnya yang sulit digambarkan sebagai perasaan apa. Ia selalu berusaha menganggap kenangan itu sebagai kenangan indah meski tidak begitu pada kenyataannya.

Selamat datang di Daegu.

Pemuda itu berdiri sejak beberapa saat yang lalu di depan gerbang stasiun yang entah mengapa sangat ramai kala itu. Beberapa sekon dilewatkan, barulah si muda meninggalkan tempatnya. Meski setiap langkah yang ia ambil---menyusuri jalanan yang dulunya selalu ia tempu untuk pulang ke rumah---bagaikan menyeret tungkai di atas mata pisau.

Pergi dan jangan kembali.

Saat kau meninggalkan rumah ini, kau telah kehilangan hak untuk memakai marga keluargaku di depan namamu.

Ia ingat semua hal itu. Bahkan tak sedetikpun luput dari mimpi buruknya di setiap larut malam. Bukan karena ia menaruh benci pada sosok yang meneriakinya di waktu itu, hanya saja ia ketakutan jika harus kembali hidup dalam garis perintah itu. Kendati melewati keadaan seberat ini bertahun-tahun adalah trauma terbesar yang membentuk jiwanya yang lemah.

Dari stasiun menuju ke lingkungan tempat tinggal keluarga Kim membutuhkan waktu setidaknya sepuluh hingga lima belas menit menggunakan bus. Mengingat daerah tersebut merupakan pusat pertanian dan perkebunan di Daegu. Taehyung menganggap hal itu sebagai keuntungan, pasalnya ia punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan dirinya---menginjak rumah terkaya di Dys, kampung halamannya.

---oOo---

"Siapa yang datang?"

Suara tersebut terdengar beriringan dengan kehadiran presensi bergaun merah muda dari balik pintu. Kedua tangannya membawa nampan berisi beberapa obat-obat herbal yang hendak dibawa menuju teras samping rumah.

Alis si wanita bersurai sebahu itu menyatuh, heran akan tingkah sang pelayan yang bukannya menjawab justru semakin tertunduk dalam. Jangan lupakan, ia bukan wanita penyabar yang punya kesabaran cukup untuk menunggu jawaban dari sang pelayan.

Kang Yoora melepaskan dengus lalu berucap, "Aku dan ayah ada di teras belakang. Jika tamunya untuk kami, minta langsung ke sana saja. Mengerti?"

Benar seperti itulah keadaan kediaman Kim sekarang. Semenjak beberapa bulan lalu saat putra keluarga Kim memilih untuk memutus hubungan dan meninggalkan kediaman itu, semuanya menjadi semakin dingin. Kerabat menjadi semakin segan, sang tuan rumah yang semakin menutup diri, dan sang menantu yang semakin keras hatinya. Rumah itu telah hampa rasanya.

Bukan hal yang mudah untuk bertahan di dalam sana. Baik sebagai pelayan yang mengabdi pada tuannya, juga bagi Kang Yoora yang kini menyandang status sebagai isteri yang ditinggal oleh suaminya. Alasan ia untuk tetap menegakkan punggungnya selayaknya wanita tanpa rasa kesepian, tak ada yang tahu. Wanita Kang masih menyimpannya rapat-rapat.

"Baik, Nona Kang."

Seusai mendengar jawaban dari sang pelayan, lantas Yoora menyeret langkahnya meninggalkan ruang tengah menuju tujuan awalnya. Ia acuh tanpa ada niat untuk setidaknya memastikan siapa yang bertamu di sore dingin itu. Kendati bagi seorang yang hidup di tengah lingkungan kaya seperti keluarga Kim, bukan hal baru jika orang asing datang bertamu---biasanya tujuannya tak lain dari meminta bantuan finansial.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang