PAGE THREE : "Once Again"

147 13 4
                                    

Dentuman yang terdengar setiap kali alas sepatu menyentuh lantai kayu terdengar amat pelan. Kesunyian serta keresahan menenggelamkan sosok yang kini berjalan dengan raganya yang kosong.  Tubuhnya benar-benar bergerak di luar kendali kendati pikirannya sedang berkelana menyusuri labirin kebimbangan. Ia coba untuk mencari titik temu yang sekiranya merupakan titik yang menguntungkan semuanya. Perihal langkah apakah yang harus ia pijaki selepas mendengar kabar buruk yang membuat hatinya ngilu.

Ia tak ingin kehilangan, tetapi ia pun tak bisa untuk tetap menggenggam cinta itu.

Kala ia mengangkat pandangan, tungkainya sontak berhenti melangkah. Di depan sana ia dapati sesosok yang berdiri begitu anggun. Wajah dinginnya samar disinari cahaya dari lampu oranye di teras rumah. Bahkan langkah kakinya kala mendekat terdengar begitu aneh.

Dagunya terangkat tinggi-tinggi kala jarak antara mereka sudah sangat dekat. Taehyung tak mengatakan apa-apa. Dalam diam mencoba mengerti sikap wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu.

"Ayah menunggumu. Dia ingin bicara, Suamiku." Begitulah ujarnya yang begitu dingin. Soalah panggilan di akhir kalimat hanyalah sarkastik atas dirinya.

Taehyung tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Ia mengerti bahwa Kang Yoora patut memberikan tatapan itu padanya. Banyak alasan yang hanya berpihak pada wanita itu. Entitasnya sebagai seorang suami hanyalah sekedar status saja, lantaran bisa dihitung jari mereka tidur di ranjang yang sama. Jangankan layaknya suami istri lainnya, bahkan si Kim tak ingat apakah mereka pernah bersentuhan lebih intim dari sekedar bersalaman.

"Akan kutemui dia besok, aku sedang ingin sendiri," sahut si Kim selepas terdiam agak lama. Langkah hendak ia pacuh lagi menuju ruangan yang setidaknya selalu menjanjikan ketenangan padanya. Ruangan yang membiarkannya bernapas. "Aku sudah makan di luar. Lekaslah makan noona, tak usah menungguku."

"Temui ayah, Taehyung-ah. Semalaman kau menulis sastra lagi, bukan?"

Taehyung menoleh, kini telah berani menatap wajah wanita Kang. Mendadak semua rasa kasihannya pada nasib wanita itu raib kala ia cukup mengerti arti dari kalimat itu.

Tubuhnya di balik sepenuhnya untuk menghadap Yoora lagi. Malam itu mereka seperti dalam perlombahan, perihal tatapan siapa yang paling dingin. Mungkin, Taehyunglah pemenangnya, kendati kala ia berucap pelan, wanita Kang seolah ditampar agar tersadar.

"Kau mengaduh lagi? Jangan biarkan egomu membuat kita semakin berjarak, Yoora Noona. "

--oOo--

Hampa, itulah yang terpancar dari sorot mata yang nampak lelah itu. Di wajahnya telah tergambar keputusasaan yang bahkan semakin mengental. Bibirnya terkatup sejak tadi bahkan telah kering kendati ada kegersangan dari kerongkongan yang belum dibasuh dengan minuman pemuas dahaga semenjak petang.

Sekarang sudah seperempat malam di mana selepas mendapat cacian lagi dari sosok yang ia sebut sebagai seorang ayah, Taehyung memilih menghabiskan waktunya di ruang kerjanya. Tumpukan surat di dalam kotak kecil di atas meja ia pandangi dengan senduh. Sudah banyak surat yang belum sempat ia baca di sana. Sayangnya, ia merasa tak ada tenaga untuk membuka surat-surat itu lagi. Hati kecilnya sedang terluka kala mengingat semua penuturan sang ayah beberapa jam lalu.

Kau sering ke Busan lagi akhir-akhir ini, bahkan menulis sastra sepanjang malam. Kau kembali berkumpul dengan teman-temannya tak bergunamu itu?

Kim Taehyung, kau itu anakku. Perintahku adalah garis takdirmu.

Jika kau menginjakan kakimu lagi di Busan tanpa sepengetahuanku, kau tahu pamanmu akan memberi sedikit pelajaran pada kawan-kawanmu itu.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang