Seoul, Korea Selatan
13 November 1970
(Lembaran kedua)Semakin gelap corak sang langit di atas sana, rintik hujan semakin samar terdengar. Tetesan hujan terakhir telah terdengar merosot dari atap hingga jatuh ke tanah, diserap lagi dan mengalir tiada henti seperti berkat yang datang saat hujan.
Suara kehidupan telah mulai terdengar. Bunyi kaki kursi yang bergesekan dengan ubin kala entitas yang semula duduk kini berdiri, dominan terdengar. Tentu saja, redanya sang hujan lebat yang mengguyur bumi manusia, membuat beberapa insan mengucap syukur. Terlebih lagi orang-orang yang berada di sebuah kafe yang singgah untuk berteduh dari basah.
Di antara mereka ada figur itu, sesosok cantik yang baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada kawannya. Jemari kecilnya bergerak menguncir untaian surai hitamnya menggunakan karet hitam sebelum benar-benar berdiri. Dentum sepatunya terdengar samar kala ia semakin menjauh, membuka pintu kafe untuk menuju tujuannya yang sempat tertunda lantaran adanya sang hujan.
Jalanan agak becek dengan genangan air di beberapa titik jalan. Bahkan tak sedikit manusia yang masih memakai payung mengantisipasi hujan yang mungkin saja turun lagi kendati langit masih menggelap.
Sebuah bis berhenti di halte, beberapa orang yang telah menunggu tersenyum bahagia. Satu per satu naik dan mengambil tempat duduk masing-masing. Suasana tak terlalu ramai, agaknya mendung mungkin membuat orang-orang mengantuk dan memilih diam hingga sampai tujuan.
Satu lekungan senyum menyapa dari wajah sosok bersurai hitam itu. Langit ia tatap sejenak dari balik jendela bis sebelum akhirnya netra hitamnya bergulir menatap arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Masih sore ternyata. Mendung membuat kota terlihat gelap layaknya malam akan segera menjemput. Ia takjub lagi, satu lagi tipuan alam yang menakjubkan baginya. Untungnya tujuannya kali ini tak terlalu jauh kendati ia telah sampai beberapa belas menit kemudian.
Sepatunya menapaki rerumputan yang basah dan agak becek. Itu tak masalah baginya, toh, ia memang sudah tahu resikonya datang ke tempat seperti itu selepas hujan. Maka dari itu ia tetap melanjutkan perjalanan, tak lupa sesekali memandangi eloknya dua tangkai bunga yang ia bawah dari kafe tadi. Mawar putih ia bawa untuk seseorang yang menurutnya suci dan berharga.
Selepas dua langkah pelan, kedua tungkai itu berhenti. Netranya menatap penuh senduh serta kerinduan pada gambaran dua sosok yang tengah tersenyum padanya layaknya ada kerinduan juga. Rasa ingin menyentuh serta memeluk bergejolak, sayangnya, tak bisa kendati kedua senyum itu hanya foto yang bersandar di dua nisan yang saling bersebelahan.
Bekas mawar yang sudah layu ada di sana, untungnya sang tamu yang mengunjungi sehabis hujan membawa bunga yang baru. Juga harapan serta cinta yang baru.
Wanita itu berjongkok untuk menyapu bunga layu di atas makam sebelum akhirnya meletakkan bunga baru yang warnanya begitu menyegarkan mata yang memandang. Ia tersenyum lagi sesaat. Kesepuluh jemarinya bertaut dengan mata yang terpejam sembari merapalkan doa dalam hati. Meminta pada Sang Kuasa agar kedua harta karunnya yang berada di balik tumpukan tanah itu diberi surga yang indah serta dihapuskan dosa besar yang membuat mereka berakhir seperti ini.
"Ayah ... Ibu ... "
Suara itu terdengar selepas kedua netra itu terlihat lagi. Senyum bangga terpatri senantiasa di sana seakan menegaskan bahwa ia tak menyesali apapun yang terjadi semasa hidup kedua orang tuanya yang meninggalkan banyak kenangan buruk. Karena baginya, pasangan yang tengah terbaring di balik tanah hanya khilaf dan ialah yang akan memperbaiki semuanya. Berjanji pada keduanya untuk tidak mengulangi hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind of Future √
RomanceMereka melakukan kesalahan dan dosa besar. Maka Tuhan memisahkan keduanya agar tak menyakiti banyak hati. ________________________________ Historical Fiction | Romance by Yoodystopia Started : August, 31 2021 Finished : February 25, 2023 ©...