What Kind of Future : 13

178 33 17
                                    

Kedua binar itu menatap lekat pada hamparan langit yang membentang tanpa ujung---dari balik jendela kayu bersegi panjang. Menjadi saksi kala gelapnya malam berganti cahaya jingga yang tampak malu-malu dari balik awan di sudut langit. Pagi baru disambutnya dengan begitu lesuh, mata yang merah dan perih kendati belum sempat terpejam hingga tiba-tiba pagi datang. Seolah setiap jamnya berlalu setiap kali kelopak matanya berkedip.

Ia bangkit---masih mengenakan kemeja putih bekas semalam---kakinya menapaki lantai kayu kamar. Tak lupa sesekali wajahnya ia usap dengan gusar sebagai pelampiasan atas benang kusut yang memenuhi kepalanya. Seakan itu hukuman atas apa yang telah ia lakukan.

Seperti kebiasaannya, ia senantiasa berjalan tertunduk sampai akhirnya satu sapaan sehangat matahari berhasil membuat kepalanya terangkat.

"Kau sudah bangun, Suamiku," sapa si cantik.

Entah telah mati rasa atau bagaimana, kehangatan yang terselip dalam sapaan itu mengapa tak dapat mengetuk pintu hati si pria kemeja putih. Hatinya justru semakin hancur melihat rupa wanita yang telah merebut masa mudanya.

Taehyung tersenyum tipis, hampir tak terlihat sebelum berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Lantas selepas mengumpulkan air dalam kedua telapak tangan yang saling menyatu, wajah rupawannya ia basuh hingga kesejukan mulai menjalari tubuhnya. Setidaknya sedikit meredahkan pening di dalam kepala pria berusia dua puluh lima tahun itu.


Seusai menyiapkan diri, si Kim melangkah keluar kamar. Mendapati kawan-kawannya telah berkumpul dengan pakaian rapi serta masing-masing membawa koper, siap untuk meninggalkan Daegu. Lantas, ia pun bergabung dan mengantar kawan-kawannya ke depan gerbang depan.

"Kau yakin tak ingin pulang bersama kami?" tanya Min Yoongi mengawali pagi itu. Si pria berdarah Jepang-Korea itu agaknya sedikit resah hingga ia butuh meyakinkan Taehyung atas keputusan yang diambilnya.

Benar adanya. Entah sejak kapan sanubari Kim Taehyung goyah untuk mengambil keputusan itu dengan berani. Ia memutuskan untuk menetap di kampung halamannya untuk sementara waktu. Tak mempermasalahkan jika harus kepayahan lantaran jarak Seoul dan Daegu yang lumayan jauh. Ia akan menyelesaikan sisa waktu belajarnya di Daegu.

Taehyung mengulas satu senyum tipis, menepuk pundak Yoongi pelan agar karibnya tak lagi meragu."Iya, Hyung. Ada yang harus kuselesaikan terlebih dahulu."

Mendengar alasan itu tentunya, para anggota mengerti perihal urusan yang dimaksud pria Kim. Mereka tahu mungkin saja kawannya itu telah dinanti sebuah masalah besar kala ia menginjak kaki di rumah yang sudah ia tinggalkan selama tiga tahun itu. Terlebih lagi mengingat kejadian di Busan tempo hari, tentunya sudah menjadi sebuah peringatan. Namun, tak ada yang bisa membantu. Keputusan telah diambil oleh Kim Taehyung. Rasa tunduknya pada keluarga ia biarkan menghancurkan hidupnya secara perlahan.

"Oh, iya, apa kita perlu mengunjungi Aleeya nanti? Bukankah Ibunya sakit?"

Perhatian teralihkan, pelakunya adalah Bogum. Pertanyaan yang terdengar biasa itu membuat Woosik dan Taehyung sontak saling melempar pandang. Saling menyampaikan pesan dalam diam.

Memang menurut sepucuk surat yang ditinggalkan wanita Shin semalam, wanita itu menjabarkan bahwa keputusannya untuk kembali secara tiba-tiba dikarenakan ibunya yang mendadak sakit keras. Bukan alasan yang buruk, tetapi bagi pria Choi dan Kim yang mengetahui bahwa Aleeya merupakan anak yatim piatu, itu jelas sebuah dusta.

Woosik berdeham, seusai melirik Taehyung. "Kurasa tak perlu. Biarkan saja ia istirahat," sahutnya yang diberi anggukan oleh si Kim untuk mempermanis dusta itu.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang