What Kind of Future : 17

112 12 8
                                    

"Bagaimana kabarmu?"

Di antara kayungan langkah beriringan itu, suara ragu milih entitas berbalut rok cokelat serta blouse putih, terdengar. Dingin angin yang berembus malam itu,  nyatanya mengambil peran penting dalam menciptakan suasana yang canggung. Tentunya, tatkala berjumpa setelah bertahun-tahun---kabar adalah hal yang pertama patut untuk ditanyakan. Bagaimana sang kawan menjalani hidup selepas perpisahan itu, juga bagaimana rasa di antara mereka yang telah meregang selama jarak memisahkan.

Setidaknya makna itulah yang tersirat dari pertanyaan yang melesat di bibir wanita Shin. Dengan agak ragu-ragu kini menatap pria yang senantiasa mengimbangi langkahnya kala mereka menyusuri jalan bersama—seperti dahulu. Nyatanya waktu yang cukup lama tak mengikis kebiasaan itu, kebiasaan yang menjadi awal dari rasa mereka bersemi.

Seusai mengganti pakaian, Aleeya dan Taehyung memutuskan untuk berbincang sejenak. Meski tak yakin akan hal apa yang ingin mereka bicarakan, tetapi langkah mereka tetap yakin membela malam yang dingin.

"Aku baik," sahut si pria pada akhirnya. Tetap menatap ke arah depan dengan tangan yang bersembunyi dari balik saku celananya. Ada sedikit suara kekehan samar dari ceruk bibirnya kala ia melanjutkan. "Lebih tepatnya terlihat baik-baik saja."

"Kau berhenti menulis sastra?"

Taehyung menoleh pada akhirnya. Menatapi raut begitu senduh dari wanita yang teramat cantik di matanya. Senyum tipis dengan binar indahnya membuat ia terpaku untuk sejenak sebelum kembali menatap tanah yang dipenuhi kerikil. Ia tak menjawab pertanyaan itu lantaran ia tahu betul bahwa sang penanya mengerti jawaban apa yang akan terlontar dari bibirnya.

Mereka tenggelam dalam euforia masing-masing dalam diam. Merasakan bagaimana kenyamanan menjalari tubuh mereka saat raga mereka sedekat ini. Meski tak ada yang hendak mengungkapkan rindu pada relung hati masing-masing, tetapi mereka saling mengerti bagaimana mereka saling merindu.

Tepat kala tungkai keduanya telah menapaki jembatan kayu dari kolam kecil di tengah jalan setapak itu, mereka menghentikan langkah. Aleeya yang berhenti terlebih dahulu, lantas mendongak lagi menatap pria yang kini berpindah posisi untuk berdiri di hadapannya sembari menatap goyangan-goyangan kecil pada air kolam yang terdapat pantulan cahaya sang rembulan dan bayangan mereka berdua.

"Woosik bilang, dia sering mengirimu surat. Namun, ia tak pernah dapat balasan dari kawannya ini," ucapnya sebelum akhirnya ikut menatap air kolam yang tenang, setenang pria yang berdiri di sampingnya. Ada senyum di wajahnya kala bayangan melihat bayangan mereka di sana. "Presdir Kim, pasti sangat sibuk hingga tak punya waktu untuk memberi kawannya kabar."

"Tugasku sekarang hanya menandatangani dokumen, bukan menulis surat. Itulah sebabnya."

Aleeya menunduk menatap jemarinya yang memegangi sisian jembatan dengan bibir yang lirih berucap, "Aku tahu ...."

Namun, itu tak berlangsung lama kendati pandangannya kembali naik kala jemarinya perlahan diraih oleh sebuah tangan besar yang kini membungkusnya. Permukaan hangat itu menjalarkan rasa nyaman begitu pun tatapan dari kedua binar yang menatapnya begitu dalam. Lantas wajah dengan paras elok itu ia pandangi sepuasnya seperti dahulu. Mengagungi hidung yang mencuat mancung serta alis yang tebal. Pun garis rahang yang tegas serta bibir yang lumayan tipis. Tak banyak perubahan dari pria bunga layu itu kecuali surainya yang sudah disisir rapi layaknya pria pebisnis.

"Bagaimana denganmu? Kau tak nampak gugup di penampilan tadi."

Kala suara sedalam samudera itu kembali menyapu rungu wanita Shin, ia merasa hatinya goyah. Pertahanan yang sudah ia bangun sedekit demi sedikit roboh kala menyadari ada sorot sarat kerinduan yang sama di mata pria itu. Ia menyadari bahwa rasa di antara mereka tidaklah hilang, melainkan hasrat untuk saling memiliki semakin tumbuh seiring waktu.

What Kind of Future √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang