34 - Rasa Bersalah

9 2 0
                                    

"Kak Zain, kak bangun, kak! Kenapa kak? Kakak gak perlu lakuin ini. Harusnya kak Zain gak perlu nolongin aku tadi. Kak ...." Lala tak bisa berhenti menangis, ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Zain. Bagaimana jika Zain sampai tidak selamat?

Sejenak Zain membuka matanya. Dengan beratnya, walau cukup kesulitan, Zain mencoba bicara pada Lala.
"La, kamu gapapa, kan?"

"Kakak.. Aku gapapa. Tapi sekarang kak Zain .... Kenapa kakak kayak gini? Harusnya aku yang ada di posisi kakak sekarang. Kak Zain gak perlu ngorbanin diri kakak buat aku. Kenapa?"

"Karena aku ... aku sayang ka-mu."
Zain kembali memejamkan matanya. Kini ia benar-benar tak sadarkan diri.

Lala berteriak minta tolong. Beberapa warga sekitar dan siswa yang masih ada di sekolah berhamburan menuju suara Lala. Semua begitu panik, terutama teman-teman Zain dan anak-anak OSIS. Salah satu dari mereka sudah menghubungi ambulans. Lala tak bisa berhenti meracau meluapkan rasa bersalahnya tanpa bisa menyudahi isaknya.

Rafa yang mendengar berita keributan itu seketika menghentikan aktivitas main basketnya. Ia mengikuti yang lain, ingin melihat apa yang terjadi. Melihat kondisi Zain dan Lala, Rafa amat terkejut. Rafa langsung merengkuh Lala.
"Sayang, kamu gapapa, kan?"

"Kak Rafa, kak Zain ... dia harusnya gak begini. Harusnya aku yang ada di posisinya. Kalo dia gak nolongin aku, dia gak mungkin begini, kak. Kak Zain--"

"Lala.. Kamu tenang ya, sayang. Ini bukan salah kamu. Zain--dia pasti baik-baik aja. Zain pasti selamat, sayang. Udah, kamu tenang dulu, jangan nangis lagi. Husstt! Udah, sayang," jelas Rafa mencoba menenangkan kekasihnya.

Ambulans pun datang. Zain segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Kak, aku mau ikut anter kak Zain ke rumah sakit. Aku harus tau keadaan dia."

"Iya, La. Oke, kita ke rumah sakit juga ya. Ehm, kamu tunggu di sini, aku ambil mobil sebentar ke sekolah. Tunggu dulu ya, kamu tenang." Rafa mengecup kening Lala lalu berlari ke sekolah untuk mengambil mobil.

Rafa yang baru saja mengambil tasnya dan tas Lala kini berpapasan dengan Amel.

"Rafa, beneran Zain yang kecelakaan?"

"Iya, Mel. Zain kecelakaan karena nolongin Lala yang hampir ketabrak. Kalo gak ada Zain, pasti Lala yang akan ... gak, aku bahkan gak sanggup bayangin itu. Lala bener-bener syok dan ngerasa bersalah. Aku sama Lala mau ikut ke rumah sakit. Kamu mau sekalian?"

"Iya deh, Raf. Aku ikut kamu juga ya. Aku juga khawatir sama keadaan Zain. Mungkin aku juga bisa bantu kamu nenangin Lala."

"Oke, Mel. Yuk, Lala udah nunggu di depan."

Mobil Rafa sampai ke tempat Lala menunggu.
"Sayang, ayo kita berangkat. Amel juga ikut."

"Raf, Lala biar duduk di belakang aja sama aku. Biar aku bisa nenangin dia. Kamu fokus nyetir aja."

"Oke. Ayo, sayang."

Di sepanjang perjalanan, Amel menunjukkan ketulusannya menenangkan Lala. Entah ia benar mengkhawatirkan Lala atau hanya untuk cari muka di depan Rafa.
"Lala, kamu tenang ya. Zain pasti baik-baik aja, kok."

"Kak Amel, kak Zain celaka gara-gara aku. Kak Zain ... Dia--"

"Udah La, kamu gak salah. Kebetulan Zain juga di sana. Liat kamu hampir celaka, Zain gak mungkin bisa diem aja, kan?"

Mereka sampai di rumah sakit. Zain masih ditangani dokter. Di ruang tunggu, Rafa tak henti meyakinkan Lala bahwa semua akan baik-baik saja. Ia memeluk Lala, mengusap air matanya, sesekali mengecup keningnya. Tak tahan dengan kemesraan dua sejoli di hadapannya, Amel memilih pergi menghindar dengan alasan membelikan minum untuk mereka agar Lala juga tak dehidrasi setelah terlalu lama menangis.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit berlalu, dokter keluar dari ruangan. Dokter mengatakan Zain sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menunggu dia siuman sehingga dokter nantinya bisa mengecek perkembangan keadaan Zain lebih lanjut. Kelegaan terpancar pada diri ketiga anak OSIS itu.

Tak lama, Zain pun siuman.
"Zain, syukurlah akhirnya lo sadar juga."

"Raf.. Lo di sini?"

"Thanks Zain, lo udah nolongin Lala. Gue gak tau mesti bilang apa kalo gak ada lo dan Lala yang--"

"Raf, gue gak mungkin biarin Lala celaka. Dia kan pacar sahabat gue."

"Lo gapapa kan? Gue tau lo strong, Zain."

"Gue gapapa, Raf. Eh, Lala, Amel, kalian di sini juga? La, kamu baik-baik aja, kan?"

"Iya kak, aku gapapa, berkat kakak. Makasih kak Zain. Aku gak tau, aku gak akan bisa maafin diri aku sendiri kalo kak Zain--"

"Sayang, Zain baik-baik aja. Dia selamat. Zain itu lelaki yang tangguh, dia gak selemah itu. Jadi, sekarang kamu gak perlu nyalahin diri kamu sendiri lagi ya."

"Iyaa, La. Apa yang Rafa bilang itu bener. Kamu liat sendiri kan, aku dah gapapa sekarang. Kamu gak perlu sedih lagi. Kalo kamu masih ngerasa bersalah, mending aku pingsan lagi nih."

"Eh jangan, kak. Kak Zain gak boleh kenapa-napa lagi."

"Ya udah, sekarang senyum dong! Kalo kamu sedih terus, aku ikut cemas. Ehm, Rafa juga pasti gak bisa tenang liat kamu begitu."

Hari semakin gelap, Rafa, Lala, dan Amel memutuskan pulang ke rumah. Zain masih harus dirawat inap setidaknya sampai besok. Tadinya Lala ingin tetap menemani Zain di sana, tetapi Zain menolaknya.
"Ya udah Zain, gue sama Lala balik duluan ya. Kalo ada apa-apa, jangan ragu buat hubungin gue. Gue siap walau harus balik ke sini tengah malem sekalipun. Amel, kamu yakin gak mau bareng sekalian? Aku bisa anter kamu dulu kok."

"Gak usah, Raf. Kamu sama Lala aja. Aku bisa pesen taksi online kok. Santai."

Lala pulang bersama Rafa.
Sambil menunggu taksinya datang, Amel menemani Zain.

"Belum mau balik, Mel?"

"Nunggu taksi online."

"Kenapa kamu gak mau dianter Rafa aja?"

"Jujur males sih liatin mereka berdua."

"Hm, gitu."

"Zain, aku boleh tanya sesuatu?"

"Kenapa Mel?"

"Ini memang murni kecelakaan atau salah satu rencana kamu buat Lala?"

"Astaga, Amel. Kamu udah liat aku babak belur begini, terus masih mikir ini 'rencana'? Mel, kalo pun aku mau buat rencana, gak akan pake cara sebodoh ini lah. Bahaya banget, bukan apa-apa, kalo aku gak bisa dateng tepat waktu, Lala bisa celaka. Aku gak pengin ngebahayain nyawa Lala."

"Oh, jadi ini beneran kecelakaan dan gak disengaja. Sorry, Zain. Tapi pikir deh, ini bisa jadi jalan buat kamu lebih deket sama Lala. Kecelakaan ini bisa nguntungin kamu juga."

"Maksudnya?"

"Kamu liat kan tadi, gimana reaksi Lala begitu kamu sadar? Kamu juga gak tau Zain, gimana cemasnya Lala selepas kejadian tadi waktu kamu masih ditanganin dokter."

"Dia ngerasa bersalah, Mel."

"Ya justru itu. Kita bisa manfaatin rasa bersalah Lala. Kamu tau dia itu sepolos apa, kan? Zain, bahkan tadi sewaktu aku ditinggal berdua sama dia pas Rafa urus administrasi, aku udah coba pengaruhin Lala. Yang aku liat, dia pasti bakal mulai terus kepikiran sama kamu."

"Kamu bilang apa aja ke Lala, Mel?"

"Gak perlu aku jelasin, tapi pastinya aku yakin itu berguna buat kamu. Selanjutnya giliran kamu yang urus, Zain."

"Mel?"

"Intinya good luck! Semoga tujuan kita bisa segera tercapai."

OSIS, I'M IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang