Chapter 22

3.8K 402 112
                                    

TELINGA Renjun terus berdengung saat Jisung mengucapkan sesuatu terkait identitas ayahnya selama ini. Jaemin memeluk kekasihnya erat, membiarkan kepala Renjun tenggelam dalam dadanya. Pria satu anak itu bisa merasakan bagaimana tubuh Renjun mulai dingin akibat ketakutan, membawa Jaemin enggan berpikir terlalu keras bagaimana Renjun bisa bereaksi separah ini.

Sebagai seorang pembunuh bayaran profesional, Jaemin jelas tahu ketakutan Renjun melebihi batas kewajaran. Kekasihnya takut sampai mungkin yang bisa dokter itu dengar saat ini hanya dengungan keras di telinga dan juga debaran jantungnya sendiri. Kedatangan Jisung pun diabaikan Jaemin karena saat ini Renjun adalah prioritas utamanya.

Pria itu mengangkat Renjun dalam gendongannya, membawa sang kekasih ke kamar masih dalam posisi yang sama. Mereka melewati Jackson yang sedang dibantu minum obat bersama dengan seseorang. Haruto datang dengan Jisung dan memberikan anggukan pelannya. Sedang Jisung mengekor di belakang Jaemin dan memilih duduk di samping keponakannya, memberikan high five satu sama lain.

"Uncle Renjun kenapa samchon?" tanya Jackson pada Haruto.

"Sudah kubilang samchonmu itu dia, Sonaa" jawabnya sambil menolehkan kepala kecil Jackson pelan ke arah Jisung. Adik kandung Park Ryujin itu mengangguk penuh rasa bangga. "Kalau memanggilku harus pakai senpai, nee?" lanjut Haruto mengembalikan kepala kecil Jackson menatapnya.

Si kecil mengangguk dengan bibir mengerucutnya akibat tekanan dua tangan besar Haruto yang menangkup wajah mirip Jaemin itu. "Tapi uncle Renjun kenapa digendong?" tanya si kecil masih dengan rasa penasaran besarnya.

"Uncle Renjun sakit. Jackson harus menurut kalau mau uncle Renjun tidak sakit." Haruto menjawab asal.

Si kecil mengangguk antusias dan kembali membuka mulut lebar-lebar untuk menerima suapan dari Haruto. Ia sesekali melirik pada punggung lebar ayahnya mulai mendekati kamar Renjun. Jaemin meninggalkan sang anak bersama dengan dua pamannya, menggendong Renjun yang memeluk tubuh Jaemin seperti koala.

Setelah keduanya berhasil pindah ke kamar, Jaemin membiarkan Renjun terus menangis dan memeluk tubuhnya. Ia kini duduk di tepi ranjang Renjun, dengan tubuh yang lebih tua enggan pergi dari pangkuan. Punggung sempit itu terus dielus Jaemin sampai tenang, meski dahi Renjun yang menyandar pada bahunya tidak menundukkan tanda perkembangan.

Jaemin terus mendaratkan ciuman-ciuman sayang pada lekukan leher Renjun dan bagian samping wajah kekasihnya itu. "Sayang, sudah, aku ada disini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri." Tuan Na terus membisikkan kata-kata penenang meski tau hasilnya nihil. Renjun takkan bisa dengar.

Walaupun Jaemin sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu Renjun, pria itu tidak mengetahui apa yang menimpa Renjun selama ia pergi. Tidak tentang Renjun yang harus menjalani terapi jiwa, tidak tentang Renjun yang memiliki phobia terhadap bau mawar. Hanya segelintir orang yang mengetahui hal itu. Diantaranya adalah Sungchan yang merupakan tunangan dari dokter tersebut.

Jaemin tidak bisa merasa tenang jika melihat Renjun menangis dan gemetar hebat seperti ini. Meski tangisannya tanpa suara, Jaemin tau tangis yang paling menyakitkan untuk disaksikan justru tangisan seperti itu.

"Sayang, aku buatkan resep obat penenang dulu ya?" bujuk Jaemin yang semakin memeluk erat Renjun.

Menit demi menit berlalu bersama pertanyaan Jaemin. Mereka bertahan masih saling memeluk satu sama lain hingga nafas berat Renjun yang sesak perlahan mulai memudar, tergantikan nafas mulai tenang dan isakan yang lirih terdengar.

"Hiks ... Jaemin," ucap Renjun pada akhirnya.

Jaemin mempererat pelukannya. Menyesap aroma tengkuk leher Renjun dalam-dalam sebelum menjawab panggilan itu. "Iya sayang? Aku disini."

The Son ✦ JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang