Cara berhenti

31 22 2
                                    

"Sebesar apapun upaya kamu buat nyenengin orang yang ga peduli sama kamu, hasilnya tetap bakalan nol. Bukan karena kamu yang ga berhasil, tapi karena mereka yang ga mau repot-repot buat ngelihat. Jadi lupain orang-orang itu dan fokus sama orang yang peduli sama kamu."

Alio pernah bilang begitu disuatu sore dan kalimatnya itu memang benar. Tapi... aku ga mungkin bisa buat nyerah berupaya saat sosok yang ga peduli itu adalah orangtua ku sendiri.

***

Bagian XXIX - The caption is big thanks my big family.

Pukul 23.50 waktu indonesia barat, keduanya sampai di ibu kota. Elmar, gadis yang saat berkunjung ke Medan hanya membawa satu tas kecil, kini kembali dengan banyak barang bawaan yang tak terhitung lagi jumlahnya.

Melihatnya yang terus tersenyum selagi mereka masih berada didalam taxi menuju rumah, Alio tentu jadi ikutan tersenyum, geleng-geleng sebelum kepalanya akhirnya dia sandarkan pada bahu sempit Elmar.

"Laper ga Al?" Eksistensi Elmar teralih. Dengan mata terpejam, Elmar bisa merasakan anggukan dari Alio. "Nanti abis letakin barang-barang, kita kedepan aja buat ngisi perut. Aku juga udah lama ga nyicipin nasi gorengnya ayah Haris, mau kan?"

Alio iya-iya saja dan kini Elmar juga ikutan meletakkan kepalanya. Mereka istirahat sebentar selagi taxi yang membawa mereka, melaju pelan melewati jalanan ibukota yang masih hingar bingar.

***

Dua piring nasi goreng, segelas kopi dan teh anget terhidang didepan keduanya. Elmar dengan senyum lebar segera menarik piring yang satunya setelah jaket Alio yang dia pakai dia rapatkan erat-erat.

"Masih dingin?"

Alio memberi teh tadi. Menyuruh Elmar untuk meminum itu lebih dulu, sedang sebagai jawaban, Elmar memberikan gelengan setelah menyesap nikmat teh miliknya.

Alio hanya senyum tipis, kembali menoleh pada mamang penjual yang lebih dikenal dengan sapaan ayah Haris itu.

"Mang, boleh air putih anget nya dua ya?"

Kini keduanya makan dalam diam. Sesekali mulut Alio yang misuh-misuh karena Elmar makan dengan terburu. Tangannya juga sering kali tergerak hanya untuk menyisipkan rambut Elmar yang mengganggu kebelakang telinga, atau terkadang turut merapikan makanan yang menempel dibibirnya.

"Bocil." ledek Alio yang dibalas Elmar dengan delik.

"Daripada kamu, anak bunda."

Alio tidak lagi membalas, otaknya menyuruh untuk diam dan cukup mendengarkan tawa kecil yang kini lolos dari bibir ranum Elmar.

Warung nasi tengah malam itu semakin larut semakin ramai. Alio memperhatikan sekitarnya yang mendadak sesak oleh anak-anak seusianya dan beberapa mahasiswa. Disudut lain juga banyak bapak-bapak yang sedang ngopi sambil ngolor ngidul bahas tentang kemajuan negara, tanpa peduli angin malam yang mulai mendera.

Elmar kembali merapatkan jaketnya dan diam memandangi Alio yang kini bangkit untuk membayar.

"Yuk?" ajaknya sambil memberikan uluran yang jelas Elmar sambut dengan lengkungan.

Mereka berjalan menuju rumah. Hanya butuh melewati beberapa bangunan agar keduanya tiba ditempat tujuan yang akan memisahkan.

Dengan tangan yang saling tertaut, gumaman Alio yang seperti senandung, ditambah angin malam dibawah langit mendung, Elmar jadi tau apa itu nano-nano.

Yang dimaksud bukan sekedar permen rasa-rasa yang hanya tertinggal dilidah, tapi lebih ke rasa yang berhasil dia jamah.

Didetik Alio meraih dagunya dan memberikan kecupan singkat dibibir, Elmar bisa merasa perubahan dingin ke hangat yang diantarkan oleh angin malam yang seolah hendak mencibir.

AL IS EL (Renjun)(END)Where stories live. Discover now