1. Edufair

683 123 1
                                    

Manusia.

Manusia di mana-mana.

SMA St. Yohanes sudah cukup ramai dengan tujuh kelas per angkatan dengan masing-masing empat puluh siswa di setiap kelas. Sekarang, ketika sekolahku mengadakan edufair rutin tahunan dan mengundang murid-murid di beberapa sekolah lain untuk menghadiri acara ini, kau tidak akan bisa menemukan sudut sepi yang nyaman untuk dirimu sendiri. Bahkan di depan toilet sekalipun, karena beberapa perwakilan kampus yang agak sial terpaksa mendapat sisa stand di sana. Semua ini karena lapangan sekolah—yang merangkap sebagai auditorium—tidak cukup memuat semua stand dari semua universitas lokal dan luar negeri sekaligus.

William, sahabatku yang super introvert dan gampang pusing oleh kehadiran banyak makhluk yang bernapas di sekitarnya, jelas membenci ini. Jadi, setelah meminjam buku biografi Stephen Hawking di perpustakaan—tempat itu juga digunakan untuk presentasi hasil-hasil karya dari mahasiswa The One Academy, sebuah kampus di Malaysia—William mendekam seharian di ujung koridor yang agak terpencil dan luas, persis di sebelah stand universitas lokal yang tidak terlalu terkenal sehingga tidak banyak murid yang mampir.

Yang William tidak tahu adalah, ujung koridor ini sama ramainya dengan stand-stand universitas ternama di pinggir lapangan. Hanya saja William tidak bisa melihatnya.

"Pergilah, ini kesempatan yang bagus untuk menentukan kampus apa yang akan kau daftar setelah lulus nanti," saran William untuk ke sekian kalinya. Dia bersandar ke jendela kotak-kotak yang memenuhi salah satu sisi dinding, membalikkan halaman bukunya tanpa memandangku.

Sebenarnya, itu masalahnya. Juga salah satu alasan lain aku memilih duduk di lantai semen ujung koridor dan menemani William alih-alih berkeliling dan mengumpulkan souvenir dari masing-masing universitas.

Aku sudah mampir ke beberapa stand. Mendengarkan presentasi para agen konsultan pendidikan yang kelewat antusias soal program-program kuliah di luar negeri sampai penjelasan malas dari mahasiswa mengantuk yang hanya membacakan apa yang tertera di brosur. Sejauh ini aku sudah mengumpulkan satu bolpoin dan kipas, sampai akhirnya memutuskan untuk keluar dari barisan antrian stand serta gelombang antusiasme yang berlebihan di udara.

Para murid terpana dengan setiap fakta menarik yang mereka dengar dari masing-masing kampus. Mereka kebingungan memilih harus mendaftar ke universitas yang mana, karena yang ini ada program beasiswa seratus persen, sementara yang di sana katanya tidak ada ospek.

Aku bahkan tidak tahu jurusan apa yang harus kuambil.

"Kita baru kelas sebelas," kataku pada William, setengah pada diriku. "Masih banyak waktu untuk memikirkannya."

Lagipula, dengan jadwalku yang padat-belajar, tugas sekolah ekstrim, dan drama perhantuan-aku tidak sempat merenungkan apa yang akan kupelajari lagi setelah lulus SMA.

"Memangnya jurusan apa yang akan kauambil?" tanya William. Akhirnya dia mengangkat kepalanya dari buku.

Aku mengedikkan bahu. Seorang mahasiswa yang berjaga di samping kami mencibir padaku.

"Pelajaran apa yang kausuka?"

Kuingat-ingat pelajaran yang memberiku nilai paling tinggi. "Biologi."

"Bioteknologi?"

"Apa itu?"

"Intinya berhubungan dengan biologi. Kau akan bekerja di laboratorium," jelasnya.

"Aku tidak suka di laboratorium," kataku, bergidik ketika teringat dengan air selokan yang harus kami korek demi tetesan di atas kaca preparat.

"Well." William memandangku dengan prihatin. "Cobalah konsultasi dengan para agen di bawah."

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang