8. De Ja Vu

204 80 0
                                    

Lebih mudah mengatakannya ketimbang melakukannya.

Entah sudah berapa banyak kesempatan yang kulewati. Setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia, kami mencatat catatan Matematika yang panjang—aku selalu merasa Bu Sukma seharusnya menjadi guru Bahasa Indonesia saja karena obsesi beliau terhadap catatan super panjang dan rapi. Aku dan Rebecca bisa mengobrol banyak, walau dengan suara pelan, dan yang kami bicarakan hanya 'es-krim-di-kantin-SD-enak-banget', dan berujung pada jenis-jenis es krim dan rasa unik yang pernah kami coba.

Pasti kau berpikir jam istirahat paling tepat. Salah. Aku terlalu fokus makan dan tidak ingin terganggu oleh apa pun, termasuk urusan perhantuan atau gosip heboh kalau Bertha sudah membagikan undangan pesta ulang tahun ke-tujuh belasnya.

Setelah itu, jam pelajaran Sejarah lebih mengasyikkan lagi karena Pak Har tidak masuk. Kami nyaris dibebaskan, selain wajib meringkas satu bab pelajaran ke buku tulis, dan semua orang sudah selesai mengerjakannya dalam setengah jam pertama. Jackson mengajak kami bermain hangman, kemudian kami semua tewas digantung saat William memberi soal teka-teki berbau Fisika dan Astronomi.

Jam istirahat kedua adalah kesempatan terbaikku. Aku dan Rebecca memutuskan membeli es krim akibat terbayang oleh pembicaraan tadi. Selama perjalanan menuju gedung SD yang cukup panjang, aku menautkan jari dengan gugup, menimbang kalimat apa yang paling tepat untuk diucapkan.

"Apa kau dan Charles sering bertemu?"

Pilihan pertanyaan yang kurang tepat.

"Secara fisik? Sebenarnya nggak juga. Sejak dulu kami berkomunikasi online. Sampai akhirnya Charles pindah ke sini dan punya kerjaan tetap di rumah sakit, kami bertemu setidaknya satu atau dua minggu satu kali jika ada kesempatan."

"Wow. Dia seorang dokter?"

"Bukan. Tapi Psikolog. Mereka punya poli Psikologi di sana, dan Charles hanya memberi konsultasi dan terapi," jelasnya. "Hei, kita bisa bertemu kapan-kapan. Kau bisa mengajak Rylan."

"Sebenarnya," kataku setelah menarik napas yang dalam, "aku ingin mengakui sesuatu."

"Nggak apa-apa, Dais. Aku sudah tahu, kok." Rebecca mengedipkan sebelah matanya. "Kau mau rasa apa?"

Kami sudah tiba di depan kotak freezer yang berisi beberapa ember es krim warna-warni. Seorang ibu paruh baya menyapa dengan ramah dan mulai mengambil sendok besi es krim dan gelas plastik. Aku menunjuk ember berwarna cokelat, sedangkan Rebecca memilih vanilla.

"Sebenarnya bukan, Bec," kataku selagi menunggu si penjual menyendok es krim. Untung saja jam istirahat SD dan SMA berbeda, jadi hanya ada beberapa ibu-ibu muda yang bergosip dan segelintir anak sekolah dari berbagai kalangan yang mampir. Ketika lonceng istirahat SD berbunyi, kantin di sini akan terlihat seperti ribuan anak ayam yang lepas dari kandang.

"Aku suka ... Rylan ...." Mau mati saja deh aku. "Sebagai keluarga."

Katakan, Daisy! 'Yang kusukai itu Jordan.'

Oh, memangnya kenapa? Berharap Rebecca memberi restu?

"Begini," kataku tegas, menghentikan perdebatan di kepalaku. "Rylan yang sempat kau temui kemarin sebenarnya bukan Rylan. Kau tahu kenapa dia berubah drastis? Lalu kenapa sekarang dia berubah dingin lagi?"

"Astaga." Rebecca tertegun. Aku sampai harus mengambilkan es krimnya karena dia sepertinya sudah kehilangan fokus pada sekitarnya. "Pantas saja."

Aku ikut tertegun. Ternyata semudah itu. Oke, sekarang kita lanjut ke bagian kemampuanku.

"Aku sudah menduga ada yang aneh. Rylan pasti menciptakan kepribadian baru setelah kecelakaan itu." Rebecca melangkah sambil melamun di sampingku. Setelah sebuah senyuman lebar di bibirnya, dia akhirnya mengambil es krim yang kubayar dan berkata dengan semangat, "Dais, Charles pasti akan tertarik menemuinya."

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang