10. Aksi Pertama

191 76 5
                                    

"Katamu dia pulang pukul tujuh," kataku dengan nada menuntut. Sudah hampir setengah jam kami mondar-mandir di halaman parkiran rumah sakit, menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam berdasarkan petunjuk Anthony.

Setelah menceritakan apa yang kuketahui tentang Charles padanya—dan membiarkan Anthony tertawa mengejekku selama satu menit penuh karena ternyata aku belum berani memberitahu Rebecca segalanya—Anthony langsung pergi dan kembali lagi satu jam kemudian dengan membawa informasi lengkap mengenai identitas lengkap Charles, jam kerjanya, serta nomor plat mobilnya. Aku tidak mengatakannya dengan keras, tapi hasil kerja Anthony cukup mengagumkan. Jadi aku makan malam lebih cepat, lalu buru-buru meminta Papa untuk mengantarku ke rumah Ellen.

Tidak akan ada orangtua yang curiga pada anak perempuannya yang menghabiskan malam bersama teman ceweknya dengan menonton film sambil membuat makanan ringan. Walaupun teman itu adalah cewek datar yang kemungkinan tidak tahu cara bersenang-senang selain berinteraksi dengan hantu.

Baik, baik, tidak seharusnya aku menghakimi karena lihat apa yang kulakukan untuk bersenang-senang: nongkrong di rumah sakit untuk menyergap psikolog!

Jeremy yang mengantarku, karena Ellen tidak bisa mengendarai sepeda motor dan keluarga Tenggara tidak memiliki kendaraan yang rodanya lebih dari dua kecuali pick up tua. Kami praktis terlihat seperti sepasang anak remaja tersesat yang berjongkok di pinggir jalan, ditemani dua hantu remaja lainnya, dan aku bersyukur belum ada yang mengusir kami pergi.

Halaman parkiran bukan area terburuk di rumah sakit ini, tapi penghuninya jauh lebih banyak dari yang terlihat di kompleks sekolahan. Kehadiran Anthony dan Katrine yang jelas-jelas berinteraksi dengan kami sudah mencolok dan mengundang perhatian dari sesama rekan mereka, tapi belum ada yang berani mendekat berkat tubuh Anthony yang nyaris sebesar gorila dan lirikan sinis Katrine. Kendati demikian, tetap saja risih menjadi pusat perhatian makhluk apa pun.

Ditambah kecemasan soal hukum Pascal yang belum benar-benar kuhapal. Semua murid kelasku mungkin sedang latihan menghitung tinggi cairan di pipa U sekarang, dan yang kulakukan adalah mengulang rumus P = F/A dan berharap aku membawa serta buku cetak Fisika ke sini.

"Mungkin dia punya masalah," kata Jeremy. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari kalau dia sedang membicarakan Charles, bukannya diriku.

"Tentu saja. Tidak ada ID card, dia tidak bisa pulang," kata Katrine.

"Oh, tidak, kau membuatnya dalam masalah." Aku mengangkat sebuah kartu plastik yang diikat ke tali lanyard hijau dengan syok. Anthony mencurinya supaya aku bisa mengenali wajah Charles Winata, M. Psi.

"Ups. Bukan aku yang memegang kartu itu," kata Anthony sambil mengangkat kedua tangannya.

"Kembalikan padanya, Ton!" perintahku sambil melempar kartu itu ke arahnya. Anthony membiarkan benda itu menembus dirinya hingga jatuh kepala Jeremy yang berjongkok di atas batu rendah.

"Hei, Daisy menyakiti tuanmu, balas dia, Katrine!" seru Anthony sambil menunjukku.

"Maaf," ucapku merasa bersalah sembari menghampiri Jeremy. Anak itu berdiri dan menyerahkan kartu Charles padaku, pandangannya menerawang jauh ke arah pintu masuk rumah sakit.

"Itu orangnya," gumam Jeremy.

Aku berbalik untuk mengikuti arah pandangnya. Bahkan jika Jeremy tidak memberi isyarat pun aku pasti akan menyadari kehadirannya. Charles bertubuh sedang untuk ukuran pria, tapi gaya berpakaiannya-kaus pas badan berkerah tinggi, celana khaki, kacamata berbingkai emas-serta rambut hitam yang ditata mirip aktor Korea, dia terlihat seperti bukan staff rumah sakit. Sulit dipercaya jika dia pernah menerima bantuan sosial dari Mila dulu.

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang