19. Whac-a-Mole

162 68 11
                                    

Tidak ada yang menyangka kalau akhirnya aku akan berdiri di tempat yang paling kuhindari di seluruh dunia. Tidak aku, bahkan Ellen, jika dia benar-benar bisa memprediksi masa depan.

Dua puluh empat jam yang lalu, saat masih waras—atau setidaknya, lebih waras dari ini—aku hanya memiliki rencana sederhana untuk mencegah Rebecca menghadiri pesta neraka Bertha. Malam itu, sebagai penulis naskah drama yang memiliki kekuasaan setara sutradara alias ketua kelompok, aku mengumumkan di grup Whatsapp drama kalau kami harus latihan Sabtu sore.

Tentu saja semua orang langsung menolak mentah-mentah. Kecuali—terpujilah temanku yang paling baik—William.

'Nggak bisa, dong, kan Sabtu ini ultah Bertha,' balas salah seorang anggota, yang diikuti 17 anggota lain dengan isi yang kurang lebih sama.

'Lah kan yang ulang tahun itu Bertha, bukan kalian,' balasku. Dalam hati.

'Kita cuma butuh para pemeran utama untuk diskusi penting adegan drama nanti. Jadi Rebecca, Jackson, Rio WAJIB hadir,' balasku. Benar, target utamaku hanya Rebecca, tapi terkadang kau harus mengorbankan beberapa orang untuk menyelamatkan satu nyawa ....

Lagipula itu hanya pesta ulang tahun konyol.

Semuanya sepadan, ucapku dalam hati. Melewatkan sebuah pesta tidak penting bukan masalah besar, dan lihatlah, segalanya baik-baik saja dan berjalan lancar karena tidak ada seorang pun yang memprotes lagi. Hantu Mila dikurung. Bertha tidak akan mendapat kesempatan mengganggu Rebecca. Lalu semuanya hidup bahagia. Iya kan?

Namun malam itu aku gelisah. Entah karena segalanya terasa terlalu mulus, atau karena Anthony tidak mengunjungiku sejak di rumah Pak Asia tadi. Bukannya aku kesepian, tapi mendadak aku butuh seseorang untuk kuajak ngobrol. Nomor kontak Rebecca sedang kuhindari karena aku belum siap menjawab pertanyaannya jika dia menanyakan soal latihan mendadak itu. Seharusnya William adalah pilihan tepat, tapi aku sedang dalam mode paranormal dan tidak ingin mendengar penjelasan ilmiahnya. Jackson ... aku tidak tahu harus berbicara apa dengannya. Kami jarang sekali saling mengirim pesan selain membahas urusan sekolah. Akan sangat aneh jika tiba-tiba aku bilang, 'Hei, aku mau curhat nih, entah kenapa sejak bisa meihat hantu, aku malah merasa lebih sendirian. Kontradiksi ya?'

Oke, kuakui, aku kesepian.

Tapi bukan itu alasanku menaiki bis umum sepulang sekolah, menempuh perjalanan sejauh dua puluh kilo meter  dan berhenti di depan sebuah batu granit persegi panjang bertuliskan nama yang familier.

Pagi tadi, saat kukira hidupku kembali normal—tapi rupanya tidak, karena tentu saja kau tidak bisa mengharapkan kehidupan yang normal di antara hantu—aku mendapat sambutan kurang ramah dari para pemeran utama pentas drama di pintu kelas.

"Apa maksudmu diskusi dadakan di malam Minggu? Kau boleh saja sendirian, Des, tapi kami mau kencan," protes Rio.

"Dais," panggil Rebecca sambil mendorongku keluar kelas. Absennya nada ramah Rebecca yang biasa membuatnya jadi terdengar menyeramkan. "Aku tahu kau sengaja."

"Karena berusaha untuk menghasilkan penampilan drama terbaik kelompok kita?" balasku pura-pura bodoh.

"Kita bisa diskusi hari ini jika mau," katanya.

"Waduh, sayang sekali hari ini aku tidak bisa."

"Kalau begitu Sabtu sore kami juga tidak bisa hadir. Adil." Rebecca melipat lengannya.

Aku mendesah. "Bec, kau tidak boleh hadir ke pesta itu."

Giliran Rebecca yang mendesah. Dia menatapku lekat-lekat, hampir prihatin. "Dais, aku tahu kau kecewa karena tidak diundang—"

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang