12. Rylan, Rebecca, dan Realita

279 83 11
                                    

(Author's Note: Bab ini membutuhkan lebih banyak konsentrasi untuk dibaca, karena menggunakan teknik alur maju mundur berulang.

Sebenarnya ini kalau di film-film akan keren, tapi aku belum menemukan teknik semacam ini ditulis di novel, dan aku memutuskan untuk bereksperimen. Semoga ini bisa mengalir.)

---------

"Jawaban nomor limamu tadi berapa?" tanya Jackson, praktis ke semua orang yang lewat di sampingnya. Saat itu adalah jam istirahat bagi kelas kami. Karena pelajaran Fisika berada di sela waktu istirahat sekolah, dan tidak mungkin Pak Jo membiarkan kami berkeliaran sejenak sebelum melanjutkan ulangan, jadi beliau memutuskan untuk memundurkan waktu istirahat khusus kami.

Sisi positifnya, kami jadi mendapat jam istirahat yang lebih tenang tanpa keributan di luar. Antrian kantin pun lebih sepi karena secara teknis ini adalah jam pelajaran bagi kelas lain. Satu-satunya hal terakhir yang kubutuhkan adalah perdebatan soal jawaban soal nomor lima.

"Tidak, Jackson, kau pasti lupa mengubah satuan bar ke Pascal, makanya jawabanmu tidak bulat." Suara coretan kertas disertai penjelasan William terdengar dari meja belakangku. "Jadi tingginya adalah 0,005 meter."

"Tidak mungkin. Itu sudah satuan Pascal kok," bantah Jackson. Dia mendorong sandaran kursiku. "Hei, Daisy, berapa jawabanmu?"

"Daisy bilang dia tidak ingin membahas soal ulangan tadi," jelas Rebecca pada Jackson saat aku tidak merespon.

Aku tidak sempat mengajaknya ngobrol sejak pagi gara-gara histeria ulangan Fisika dan sebagainya. Aku juga tidak berniat berbicara sekarang gara-gara tertekan akibat nasib nilai ulanganku. Tanpa memedulikan Jackson dan yang lainnya, kugigit roti selai kacang dengan mata terpejam, seakan makanan ini adalah hal terpenting di dunia.

Siapa yang akan memusingkan soal Fisika jika semalam kau baru saja dikira kerasukan setan di halaman parkir rumah sakit? Oh, pasti kau masih ingat juga kalau penolongku adalah Rylan. Dan aku sempat mengiranya sebagai malaikat.

Memalukan.

Bukan itu satu-satunya alasan yang membuatku terguncang semalaman hingga tidak ada lagi rumus yang bisa meresap di kepalaku, dan aku akan menjadi salah satu kandidat remedial Fisika nanti.

Baik, segelas teh manis memang membantu memulihkan segalanya. Aku sudah berhenti gemetaran setelah gelas teh itu kosong, lalu menyadari beberapa orang asing yang mengantarku ke kantin tadi sudah pergi. Seorang ibu yang baik hati membayar minumanku.

"Di mana Charles?" tanyaku ketika menyadari sosoknya yang hilang.

"Dia pulang," jawab Katrine. Bersama Anthony, dia berdiri di dekatku dengan tangan di kursi, seakan berjaga seandainya aku akan tumbang atau kejang-kejang lagi-menurut pengakuan salah satu pengunjung rumah sakit, tubuhku mengejang hebat dan ada bunyi tercekik yang mengerikan yang keluar dari mulutku.

Sekali lagi, memalukan.

"Maaf aku tidak bisa membantu. Tabung taliku ketinggalan," kata Jeremy dengan nada bersalah. Mereka, keluarga Tenggara, masing-masing memiliki tabung seukuran tongkat estafet yang berisi semacam cambuk perak, yang akan membuat para hantu terbirit sambil melindungi bokong mereka. Lagipula bukan ide bagus menggunakan benda itu di tempat umum.

"Tidak masalah," jawabku sekedarnya. Perhatianku seluruhnya terfokus pada sosok yang bersandar di dinding kaca beberapa meter di depan dengan lengan terlipat. Dia menatapku, tapi ekspresinya sulit dibaca.

"Itu Rylan asli," kataku, mengenalkannya pada mereka semua.

"Aku ingat," kata Jeremy. "Yang kemarin jatuh dari atap apartemen."

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang