16. Pengakuan Daisy Belum Selesai

194 85 17
                                    

Aku pernah beberapa kali diajak Pak Asia beraksi di lapangan. Oke, lebih tepatnya, Pak Asia yang melakukan semuanya sendiri sementara aku dan Ellen menonton dari kejauhan. Bukan perjalanan yang menyenangkan, karena selain harus menaiki pick up tua dan berdempetan dengan Ellen di kursi depan-aku tidak tahu apakah ini legal-beberapa kali aku mengamati berbagai reaksi manusia yang histeris serta hantu yang marah.

Ada dua jenis reaksi orang yang kubagi dalam garis besar. Yang pertama adalah skeptis. Mereka akan menganggap kami semacam grup penipu dan mengabaikan semua bukti yang ada. Kedua, lebih parah lagi, mereka akan menangis sejadi-jadinya, entah karena takut atau sedih mengingat seseorang dekat yang sudah tiada. 

Rebecca tidak tertawa dan menganggapku sedang bercanda. Dia juga tidak menjerit histeris-syukurlah. Rebecca hanya terdiam lama sekali, seakan aku baru saja berbicara dalam bahasa Mandarin dan dia sedang mencoba memahaminya. Buku-buku jarinya mencengkram kemudi dengan kuat, hingga aku mulai merasa menceritakan semuanya saat berada di mobil yang menyala bukan keputusan yang tepat. Bagaimana jika Rebecca syok dan menginjak gas, lalu kami menabrak pagar rumah tetangga di depan?

"Kau ... kau serius, Daisy?" tanyanya dengan napas tertahan.

Aku jarang mengungkapkan secara gamblang soal masalah perhantuan pada orang yang bersangkutan. Ketika ada hantu di kompleks rumahku yang memintaku untuk menghentikan renovasi rumahnyanya, aku hanya bisa menulis surat misterius dan menyelipkannya ke bawah pagar lalu memantaunya dari jauh setiap hari. Pewaris rumah itu tentu saja tidak mengubris surat kalengku, walaupun aku menjelaskan dengan detail titik lokasi guci-guci kesayangan si hantu disimpan, dan bagaimana kucing yang bernama Emi selalu duduk di sofa teras dalam lantai dua. Kemudian hantu tua itu mengajukan komplain, dan demi customer service yang baik, kulempar masalah ini ke Pak Asia. Sesuai permintaanku, Ayah temanku itu berpura-pura jadi teman lama si hantu, lalu berpura-pura meramal setiap anggota keluarga itu, dan mengatakan mereka semua akan terkena bencana mengerikan jika melanjutkan renovasi dan tidak mengembalikan bentuk rumah ke semula.

Kau tidak bisa bilang, "Hei, hantu ayahmu masih mengikuti di belakang gara-gara kau dan ibumu masih bertengkar. Dia ingin kalian akur." Tidak ke semua orang. Pak Asia dan aku masih kurang sepaham dalam hal ini, karena menurutnya sebaiknya mengatakan apa adanya saja.

Pantas saja Ellen dan Jeremy jadi anak aneh dan kuper di sekolah.

Terhadap Rebecca, aku merasa sebaiknya menggunakan metode Pak Asia—walau agak terlambat. Sudah saatnya aku bersikap jujur pada teman dekatku sendiri. Rebecca berhak tahu segalanya. Dari hantu Mila yang menerornya, kunjunganku terhadap Charles kemarin, lalu bahwa ternyata sebenarnya dulu dia pernah berinteraksi dengan Jordan yang di dalam tubuh Rylan. Sahabat macam apa aku ini, menyimpan semua rahasia untuk sendiri? (Atau teman dekat? Serius, apa sih bedanya teman dekat dan sahabat?).

"Bec, aku tidak mungkin berbohong. Menurutmu tahu dari mana aku tentang Mila?"

Rebecca menarik napas agak panjang. "Jadi kau melihatnya?"

Oh, lebih dari itu, Bec. Kami bahkan berbincang seru dan mencekik satu sama lain.

"Ya. Dia bilang dia belum bisa melepaskan Charles." Setelah dipikir-pikir, sebaiknya aku tidak perlu membebankan pikiran Rebecca dengan ancaman Mila dan serangan voli tadi. Tidak akan banyak berguna. Maksudku, bukannya Rebecca bisa berjaga-jaga atau melawan.

"Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal?"

Sudah kuduga. Sudah kuduga akan ada pertanyaan ini.

"Kau tidak akan percaya, Bec. Lagipula aku tidak ingin membuatmu ketakutan. Jadi solusi yang terpikir olehku adalah menemui Charles—"

TROUBLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang